Suatu dialog
Suatu hari, adik bungsu saya bertanya kepada saya mengenai politik. Pagi itu, ibu menyuguhkan kami (saya dan si bungsu) masing-masing secangkir kopi dan beberapa potong ubi kayu. “Nak, sarapanlah sebelum beraktivitas,” kata ibu sambil tersenyum.
Setelah meneguk kopinya, si bungsu bertanya kepada saya, “kakak, politik itu apa ee?.” Ini gara-gara nonton berita politik semalam.
Di kampung saya, istilah politik sangat kotor maknanya. Saking kotornya, kata ‘politik’ bahkan disematkan pada kata ‘bohong’ atau tipu. “Ah lu pasti politik saya toh?” “Aduuuh kawan, lu su kena politik dari dia tuh”. Yang berarti, “ah pasti engkau berbohong,” dan “kawanku, engkau telah ditipunya”.
Walaupun demikian, masyarakat antusias dengan aktivitas perpolitikan. Saat pemilihan kepala desa hingga pemilihan presiden, masyarakat setempat aktif menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari semua rutinitas agenda politik dimaksud.
Kembali ke pertanyaan si bungsu, saya kira makna politik begitu kabur dihadapannya. Dalam kehidupan sehari-hari, politik dianggap kebiasaan tipu-tipu. Di televisi, politik dibahas dengan penuh semangat dan bahkan tidak main-main. “Apakah orang-orang dewasa itu memang suka membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan bohong dan tipu-tipu?” Pertanyaan itulah yang mendorongnya untuk kemudian bertanya kepada saya.
Untuk anak-anak seusianya, bahkan saya mengatakan bahwa politik itu berhubungan dengan harga Indomie di kios tetangga: Hari ini satu bungkus Indomie di kios Rp.4000. Kalau lima tahun kedepan harganya berubah menjadi Rp.4500, maka itu adalah karena dipengaruhi oleh politik negeri ini. Si bungsu tidak paham.
Saya kemudian masuk ke dalam kehidupannya; “Adek, di kelas mu ada ketua kelas atau tidak?,” “Ada kakak.. saya yang ketua.”
“Oh begitu, kenapa bisa adek yang jadi ketua?” “Iya tooh. Dorang pilih saya semua.”
“Supaya apa?” “Ya.. supaya saya bisa bantu bapak wali kelas ambil perkakas: kapur tulis, mistar dan buku pelajaran.”
“Selain itu apalagi?” “Saya dikasih tugas buat (untuk memastikan) kelas itu tertib.”
“Nah politik itu begitu sudah.” “Begitu yang bagaimana kakak?” Adek dipilih oleh teman-teman kelas, membantu guru, memastikan kelas mu tertib: tidak ribut, kelasnya bersih dan kalian saling bantu. “Begitu toh?” “Iya Kakak.” “Nah begitu sudah politik itu.”
Hari ini, andai si bungsu mengajukan pertanyaan yang sama, saya punya jawaban yang bagus sekali untuknya. Saya akan meminta si bungsu untuk mempelajari proses pemilu 2014, periode pertama kepemimpinan presiden Jokowi melalui kabinet kerja, proses pemilu 2019, dan yang masih hangat – penyusunan kabinet Indonesia Maju dalam masa kepemimpinan presiden Jokowi untuk periode kedua. Itulah makna politik dipermukaan.
Tetapi mengapa, politik diserupai dengan tipu-tipu? “Kita tidak boleh dipolitik terus.” Artinya Kita harus bebas dari tipu muslihat.
Sampai di desa, daerah dimana saya lahir dan besar, politik begitu keji dimaknai. Dari seni menata kota / masyarakat, berubah menjadi panggung untuk tipu-tipu orang.
Dari mana asal-usul pemaknaan tersebut?
Turun temurun makna politik itu menjaring hingga ke dalam kehidupan generasi milenial. Diketahui, pemerintah adalah hasil atau wajah politik yang sesungguhnya. Pemaknaan frasa politik dipulangkan kepada proses politik yang berlangsung dan berkembang di daerah: janji politik dan kebijakan pemerintah tidak saling berkaitan: janji politik mengenai A sebagai A menjadi B dalam realisasi program atau kebijakan pemerintah – yang tidak pro-rakyat. Salah satu contoh kecil ini telah menciderai makna luhur politik.
Jelas, jaringan makna mengenai politik yang demikian kabur itu sulit rasanya untuk dikembalikan ke makna politik yang sesungguhnya.
Suatu perspektif mengenai masyarakat yang terbelah
Seperti kepentingan pribadi bercampur aduk dengan kepentingan umum, begitulah agama menceburkan diri dalam politik.
Apakah politik itu suci?
Politik disebut suci karena makna yang yang mengilhaminya. Oleh karena itu, setiap politisi yang hidup dalam pertautan idea dan gagasan tentang Kebaikan, sungguh benar mereka yang akan menunjukkan kesucian politik.
Apa maksudnya?
Bahwa politik itu suci oleh karena satuan makna dan nilainya yang jika diperjuangkan maka kehidupan (manusia dan alam semesta) akan tertata dengan baik. Kehidupan manusia yang tertata itulah kesucian berada.
Sebab kemiskinan, ratap tangis dan kehidupan kota yang kumuh adalah suatu kenistaan yang bertentangan dengan politik.
Dan kini, agama cenderung ditunggangi manusia superior, memakai topeng kesucian, lalu menunjuk sana menunjuk sini. ‘di sini surga, disebelah neraka’, diseberang itu kafir sekaligus sebagai domba yang hilang, disinilah hidup orang-orang pilihan Tuhan’.
Agama dengan watak seperti itulah yang menghancurkan semua negeri dibelahan bumi. Memusuhi kafir tetapi satu selimut dengan kapitalisme. Memusuhi komunis tetapi seatap dengan kemauan untuk berbuat tidak adil.
Tuhan dijadikan tameng untuk membela diri yang rakus, bebal dan kosong. Diri yang demikian itu dipersunting dengan keadaan masyarakat yang kebingungan berlindung pada kesucian politik. Mereka melahirkan kebencian orang orang kecil terhadap Tuhan Yang Baik.
Bahwa Tuhan Yang Baik itu telah berubah wujud menjadi “monster” yang menakutkan. Dan Tuhan telah benar-benar mati saat itu juga.
Tuhan yang di Singgasana tersenyum tanpa wajah cemberut dengan sikap hidup ciptaanNya yang memalukan itu.
Andaikan, untuk sementara waktu saya di beri kewenangan untuk mencabut nyawa manusia, satu persatu saya permalukan. Sayangnya, Tuhan sungguh maha bijaksana dan lagi maha kasih.
Akibat dari semua ini, masyarakat menjadi terbelah. Dan kita telah menyaksikan masyarakat yang terbelah itu dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Semoga politik dikembalikan kepada pengertiannya yang luhur yaitu menata kehidupan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dan kedamaian hidup.