Cinta:

Suatu Dialog


bagian satu

Hari mulai gelap pada pekan pertama awal musim kemarau tahun itu. Dauni baru beranjak pergi dari sengatan senja yang pelan-pelan redup. Di bibir pantai tak berwarna itu, ia melukis jantung manusia, yang kelak akan ia ceritakan kepada siapa saja yang layak mendengarkan kisahnya.

Bersama Langit, mereka menyanyikan lagu rindu yang pernah mereka ciptakan dalam mimpi dengan diiringi suara burung jelang tidur disertai bunyi ban sepeda yang merayu bibir aspal.

Dua cangkir kopi hangat yang mereka pesan akhirnya tiba. Kafe Semesta memang dibangun di atas dialog-dialog yang mewakili jutaan batin, perasaan, semangat dan air mata manusia.

“Apa artinya hubungan kita, Langit?” tanya Dauni. 

“Apa itu hubungan, Dauni? Tolong beri saya penjelasan yang sederhana. 

“Saat saya di sisimu, atau terpisah jauh dari jangkauan matamu, atau pada suatu waktu engkau mengingatku sebagai seseorang: pribadi, diri atau definisi tentang sesuatu yang engkau temui, itulah hubungan” jelas Dauni.

“Apa maksudnya, kenapa panjang lebar” Tanya Langit.

Engkau bertanya seolah-olah masih terjebak di dalam gua kesadaran.

“Pernahkah sebelum engkau bertanya, tetapi tidak menginginkan apa-apa?” maksud saya adalah setiap orang, sebaiknya telah mengetahui pengertian mengenai pertanyaan sebelum ia bertanya. Apa itu pertanyaan harus sudah selesai diketahuinya. 

“Bukan begitu langit?” Mata Dauni tidak bergetar sedikit pun.

“Sebentar Daun.” Bentak Langit penuh tanya.

“Apakah maksudmu berarti saya belum memahami pengertian mengenai pertanyaan, yang berdampak pada pertanyaan saya selanjutnya? Saya serius bertanya, Daun. Langit tampak serius.

“Apakah engkau memahami pertanyaan mu yang terakhir ini, Langitku?” Daun menggoda.

“Pertanyaan bukan jawaban, Daunnn!”

 

“Ayok kita seruput dulu.” Ajak Langit.

 

“Aku selalu ingat pesanmu Langit. Jawab Dauni tegas.

Bahwa kopi adalah kawan berpikir. Setiap waktu adalah saat yang tepat untuk ngopi. Apalagi sedang bergulat dengan persoalan-persoalan kehidupan.

“Ya, seperti persoalan hari ini.” Tutup Langit.

Daunn, kopi saya malam ini tampak lebih pahit dari biasanya. Atau karena pertanyaan gila mu itu ya? Coba kamu senyum Daun. Yah senyum dua jari. Seperti biasa, Daun memberikan senyum terbaik untuk Langit, sebagaimana kesepakatan mereka mengenai kebaikan senyum mereka masing-masing.

“Daunn, apakah kamu mengingat semua pesan-pesanku?” Langit tampak terharu menerima penjelasanmu mengenai kopi sebagai kawan berpikir. 

“Langit, andai kata yang tidak ada itu ada, saya akan tetap berkata bahwa tidak ada pesan-pesanmu sejak semula yang luput dari keseluruhan hidupku.”

“Saya paham. Tidak ada yang tidak ada.” Tutup Langit.

Pesan-pesan yang mengandung moral dan nilai-nilai kehidupan itu telah masuk ke kedalaman hidupku. Engkau adalah definisi tentang bagaimana mengetahui, memahami dan jalan kebijaksanaan.

“Silahkan seruput kopinya, Langitku.” Pinta Daun.

Seketika itu juga, setiap kopi yang disajikan di hadapan mereka selalu menjadi kopi terbaik pada saat itu. Mereka adalah orang-orang yang telah terlempar keluar dari diri mereka sendiri untuk memanusiakan manusia, dan jadilah mereka sebaik-baiknya manusia. 

“Daunn, apakah engkau membutuhkan jawaban atas pertanyaanmu sebelumnya?” Tanya Langit.

“Pertanyaan bukan jawaban, seperti katamu.” Tegas Dauni.

“Dalam dialog kita telah terjawab semua pertanyaan, Daun. Biar bagaimanapun, pertanyaan adalah kunci membuka segala rahasia. Setiap jawaban tidak lebih daripada air yang menebus seorang yang haus. Setelah 25 langkah, ia akan haus lagi. Maka yang penting adalah bukan airnya. Melainkan bagaimana supaya ia tidak haus lagi. Buktinya ia selalu haus dan akan terus minum.” Jelas Langit.

Jawaban membuatmu puas atau merontak-rontak seperti cacing kepanasan. Jawaban juga membuatmu tidak haus lagi untuk sementara. Tapi, pertanyaan membawamu menemui satu mata air ke mata air berikutnya. 

Daun, kita tidak ada bedanya dihadapan kopi kita masing-masing. Tapi apakah artinya seorang pribadi dihadapan kopi tanpa pribadi yang lain?

Lagu yang kita ciptakan di bawah purnama Desember jelang tahun baru itu, adalah lagu tentang pribadi di dalam pribadi yang lain. Maka, tidak heran lagu itu selalu menjadi syair terbaik dengan iringan suara air yang memukul bebatuan. Indah, untuk kita dengar, kenang dan tenang sebagai seorang manusia.

“Sudah cukup kopi hari ini, Langitku.” Dauni mengingatkan Langit yang hendak meminta satu cangkir kopi lagi.

Besok memiliki pergumulannya sendiri dan kita akan membutuhkannya kemudian.

“Ayok pulang, Dauniku.” 

 

Bersambung..

Bung Jhon

Author Bung Jhon

Saya adalah yang paling tahu siapa saya bahwa saya banyak tidak tahu.Sepanjang hidup, saya senang berfikir dan berefleksi di samping membaca. Anda tahu? saya menulis kemarin, minggu lalu, sebulan yang lalu dan setahun yang lalu; Saya baca hari ini: kini, saat ini, sekarang dan saya malu sekali. Saya malu karena tulisan saya datar, dan dangkal sekali maknanya.Saya tersadar: Bahwa menulis adalah seni mengungkapkan kebodohan.

More posts by Bung Jhon

Leave a Reply