Hidup ini seperti detik-detik waktu yang berlalu dengan tanpa henti. Detik-detik sebagaimana kita pahami ialah titik awal menuju se-menit hingga bertahun-tahun. Namun demikian, saya, entah bagaimana dengan Anda, belum mendekap erat detik itu seutuhnya dan menyeluruh, sebagaimana disebut se-menit oleh karena enam puluh detik dan bukan lah se-menit kalau itu hanya lima puluh sembilan detik – saya dan Anda tahu betul soal ini.

Waktu terus berjalan! Tidak ada seorangpun me-waktu atau masuk kedalam detik yang sama. Segala sesuatu terus bergerak. Bahkan alam semesta yang diam secara kasat mata ini terus berjalan dalam diamnya. Kemanakah sesungguhnya segala sesuatu berjalan (Saya akan membahasnya dalam detik-detik yang akan datang)?

Tulus lah seperti Merpati! Pesan ini hampir semua kita pernah dengar. Begitu populer dalam pendengaran; begitu hidup dalam wejangan; betapa baiknya bilamana kita alami; betapa dirindukan nya ia. Apakah ketulusan itu? Berapakah harganya? Bagaimana mendekap ia dalam kerinduan hati dan cinta yang tak cukup welas asih oleh karena ‘kekurangan’ (Penjelasan tentang kekurangan ada di tulisan sebelumnya) pada barisan detik yang lalu, detik ini atau beturut-urut detik yang akan datang. Bagaimana jika ternyata segala sesuatu berjalan dengan tanpa ketulusan?

Ketulusan sebagaimana dalam pendengaran; ia begitu hidup. Apakah Ketulusan juga hidup dalam sikap? Saya harus tulus kepada semesta sebagaimana saya begitu mendamba; mendekap erat ia dalam kerinduan hati dan cinta yang penuh welas asih.

Bahkan seringan-ringannya kapas, tentu akan berbunyi saat jatuh – hanya saja, bagi saya, pendengaran kita lah yang tidak cukup tajam mengalaminya. Begitulah ketulusan akan hadir sebagai satu konsekuensi logis dari setiap tulus yang kita beri.

Saya tak cukup tahu betul Merpati itu. Mengapa ia begitu tulus dan tak mendendam. Namun saya harus tahu sekali lagi, bahwa dunia manusia bukanlah dunia Merpati. Tetapi kita berjalan. Karena itu lah kita, hakekat hidup ialah tumbuh perlahan demi perlahan, me-waktu dalam setiap detik dan kita terus berjalan menuju Dunia Merpati.

Marilah Jujur.
Kau harus tahu, bahwa betapa jujur nya kopi itu. Kejujurannya mengungkapkan banyak pengakuan bahwa ia begitu nikmat di seruput.

Sepotong Perjalanan hidup..

Bung Jhon

Author Bung Jhon

Saya adalah yang paling tahu siapa saya bahwa saya banyak tidak tahu.Sepanjang hidup, saya senang berfikir dan berefleksi di samping membaca. Anda tahu? saya menulis kemarin, minggu lalu, sebulan yang lalu dan setahun yang lalu; Saya baca hari ini: kini, saat ini, sekarang dan saya malu sekali. Saya malu karena tulisan saya datar, dan dangkal sekali maknanya.Saya tersadar: Bahwa menulis adalah seni mengungkapkan kebodohan.

More posts by Bung Jhon

Leave a Reply