Bagian 1

Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat!

Suara lantang yang langka itu akhirnya mengudara dan pecah di langit Indonesia beberapa hari terakhir ini. Akhirnya mereka keluar dari sarang akademik; di balik bangunan yang kokoh dan ruangan yang direkayasa dengan angin buatan, mereka belajar hingga terkantuk-kantuk. Kenyang dengan teori-teori klasik hingga modern yang belum tentu berguna—hanya rutinitas.

Mereka mulai membuktikan wejangan Tan Malaka, “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki pemuda.” Akhirnya mereka keluar dari ruangan kelas yang kaku dan terpenjara lalu membebaskan diri sebagai mahasiswa.

Indonesia memang tidak mudah dipimpin. Jumlah anak bangsa yang melebihi 250 juta memiliki pola hidup yang tidak sama: menggeluti proses kehidupan yang berbeda. Dengan demikian, memiliki pengalaman dan pengamalan filsafat hidup yang berbeda-beda.

Dalam berbagai dinamika anak bangsa, pemimpin Indonesia dan mereka yang mewakili suara rakyat untuk saling berdampingan mengurus negara ini belum bisa sepenuhnya berbakti! Sudah demikian rumitnya, sewaktu-waktu mereka malah bersekongkol membuat rancangan undang-undang yang tidak merakyat.

Gelombang aksi mahasiswa yang menolak beberapa poin rancangan undang-undang, termasuk upaya pemberlakuan undang-undang KPK hasil revisi sedikit memberikan gambaran bahwasanya pembuat undang-undang belum mampu mewakili semua pengalaman dan pikiran manusia Indonesia.

Cukup rasional jika kita mengatakan mahasiswa tidak dungu amat sebagaimana yang dituduhkan oleh pemerintah, legislatif, dan pendukung lainnya. Mereka memang belum begitu stabil dalam pengalaman dan pemahaman. Akan tetapi, mereka memiliki kekuatan moral yang kuat ketimbang pemerintah apalagi politisi!

Dengan kekuatan moral itulah maka masyarakat awam dengan segala penderitaannya dapat diwakili dan disuarakan melalui mahkamah jalanan, sebagai bentuk perlawanan terhadap rancangan peraturan yang berpotensi tidak merakyat.

***

Pemerintah bukan dewa. Apalagi sih dewan itu! Mereka adalah manusia biasa. Mereka juga makan nasi dan minum air—seperti kita. Seperti kita, kawan-kawan!

Mereka tidak sepenuhnya benar, apalagi suci. Mereka mewakili masyarakat melalui partai politik yang sudah pasti dikelilingi oleh oknum-oknum penjahat intelektual yang sudah pasti memiliki kepentingan pribadi.

Hasrat manusia memang selalu menang sendiri: kaya sendiri. Senang sendiri. Sejahtera sendiri. Bagaimana mungkin mereka mau memperjuangkan rakyat?

Mereka manusia biasa, kawan-kawan! Mereka berpotensi membunuh kita—masyarakat secara perlahan melalui berbagai macam regulasi. Maka, mereka harus dibebaskan dari rasukan roh jahat.

Karena itu, mereka tidak putih bersih seperti salju. Mereka juga kotor. Ya dan perlu diingatkan bahwa mereka juga perlu ‘bersih-bersih’.

Maka, saya ingatkan Anda semua, kawan-kawan, jaga nuranimu. Jaga identitasmu sebagai kaum intelektual yang gerakannya murni: yang didorong oleh kekuatan moral!

Gerakan Moral

Sejarah mencatat, gerakan mahasiswa memiliki kekuatan moral yang layak berhadapan dengan kekuasaan oligarki. Bahwa kekuasaan oligarki selalu berhubungan dengan keadaan di mana kepentingan kekuasaan elite politik tertentu masih membudaya dan terpelihara.

Dengan kepentingan semacam itu, sebagai masyarakat biasa, apa yang mau Anda harapkan dari mereka?

Kekuasaan oligarki dalam banyak tempat dan waktu telah melahirkan regulasi yang merugikan masyarakat. Undang-undang diatur untuk seteliti mungkin untuk memuluskan jalan para elite politik untuk memuaskan hasrat kekuasaan.

Sejarah juga mencatat, gerakan mahasiswa harus diperhadapkan dengan tindakan represif aparat kepolisian. Oknum polisi tertentu memanfaatkan momentum tersebut untuk membabat habis demonstran, memukul dan mengancam wartawan. Darah, air mata, ketakutan bersimbah di jalanan—jalan demokrasi.

Wajah demokrasi suatu negara adalah wajah pemimpin negara tersebut. Aksi demonstrasi menolak RUU KUHP sebagai salah satu ciri masyarakat demokrasi, sayangnya dipertemukan dengan tindakan represif aparat kepolisian yang membabi-buta. Negara demokrasi menjamin hak menyampaikan pendapat kawan-kawan. Sekali lagi, negara demokrasi menjamin hak menyampaikan pendapat!

Maka, segala bentuk penghinaan terhadap kemanusiaan melalui pemukulan terhadap demonstran bahkan penembakan terhadap aksi demonstran harus dilawan! Hanya ada satu kata, LAWAN!

Angkatan 2019

Pelajar atau siswa adalah orang yang belajar. Sedangkan mahasiswa bisa disebut sebagai mahapelajar atau orang terpelajar. “Orang terpelajar harus sudah adil sejak di dalam pikiran, apalagi tindakan,” kata Pram!

Maka kita sudah saksikan, orang terpelajar itu merasa gelisah hatinya. Hatinya akan bergetar melihat ketidakadilan. Apalagi ketidakadilan itu datang dari pemerintah, dari wakil rakyat!

Setelah sekian tahun bertapa beberapa di ruangan bersuhu dingin dan kaku, September 2019 menjadi saksi lahirnya gerakan mahasiswa angkatan 2019. Gerakan intelektual versi kaum milenial.

Gerakan yang terkoneksi satu sama lain, dari satu kampus ke kampus lain, dari satu kota ke kota berikutnya, adalah gerakan yang sangat wajar di era digital ini. Seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja, begitulah gerakan ini meletus dari kubangan zona nyaman.

Mereka sadar bahwa sudah waktunya untuk memberi sinyal kepada pemerintah bahwa segala bentuk peraturan harus bisa mewakili pikiran dan perasaan anak-anak bangsa.

Gerakan ini, walaupun mendapat banyak kritik dari mantan aktivis pra-reformasi pro-pemerintah sebagai gerakan yang belum matang, tidak fokus tuntutannya, dan lagi gerakan yang dtunggangi, akan tetapi gerakan ini layak mendapatkan tempat terbaik di hati dan pikiran anak-anak Indonesia yang sampai detik ini jiwanya masih bergetar menyaksikan ketidakadilan hukum, korupsi, dan kesewenangan oknum aparat kepolisian.

Tulisan ini telah terbit di qureta.com pada tanggal 27 September 2019.

Bung Jhon

Author Bung Jhon

Saya adalah yang paling tahu siapa saya bahwa saya banyak tidak tahu.Sepanjang hidup, saya senang berfikir dan berefleksi di samping membaca. Anda tahu? saya menulis kemarin, minggu lalu, sebulan yang lalu dan setahun yang lalu; Saya baca hari ini: kini, saat ini, sekarang dan saya malu sekali. Saya malu karena tulisan saya datar, dan dangkal sekali maknanya.Saya tersadar: Bahwa menulis adalah seni mengungkapkan kebodohan.

More posts by Bung Jhon

Leave a Reply