Gelombang unjuk rasa mahasiswa belum berhenti. Tidak berhenti! Gerakan tersebut tidak bisa dihentikan dengan pentungan, bahkan peluru sekalipun.
Makin dibabat, maka gerakan tersebut akan makin merambat. Pada prinsipnya, gerakan mahasiswa adalah konfrontasi antara kekuatan moral dan posisi strategis yang dimilikinya.
Kekuatan moral mahasiswa berdiri kokoh di atas kerangka idealitas dan prinsip-prinsip kemanusiaan. Kerangka idealitas merupakan suatu sketsa tentang peranan sekaligus fungsi sebagai duta pembaruan, agen analisa dan pengontrol sosial yang menjadi sandaran moral untuk berjuang, sebagai norma yang terus menerus dihayati.
Posisi strategis mahasiswa sebagai kelas menengah bukanlah bermaksud untuk menengahi polemik antara pemerintah vs rakyat akibat regulasi yang tidak merakyat.
Dalam banyak hal, rakyat selalu menjadi korban atas semua regulasi yang lahir dari politik oligarki. Maka, dengan kekuatan moral itulah mahasiswa hadir sebagai middle class yang memihak!
Memihak berarti melebur dan mengambil alih semangat dan harapan rakyat dengan mengambil posisi paling depan: Kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab negara. Maka segala bentuk penindasan terhadap rakyat melalui peraturan perundang-undangan harus dilawan.
Untuk itu, sebagai catatan untuk para pembaca, bahwa gerakan mahasiswa secara prinsipil lahir dari keresahan dan kesulitan rakyat. Hanyalah kekuatan moral yang mampu duduk sama rendah dengan rakyat, merasakan ketidakpastian hukum, ketidakadilan, dan bercermin diri untuk menemukan identitas sebagai mahasiswa di mata rakyat yang berkaca-kaca.
Mereka bergetar. Mereka merasa berdosa telah lama tidak berfungsi. Mereka dihalangi oleh ruang kelas yang adem, tertutup dan terus menerus disuap teori tentang kebutuhan pasar, jauh dari pelajaran tentang penderitaan rakyat.
Kian bergetar, kian panas jiwanya, mereka bangkit dan berteriak dengan suara lantang…. LAWAN!
Maka perlawanan terhadap pembuat regulasi merupakan panggilan hidup untuk mereka yang terlahir sebagai pemihak. Dalam semua gerakan tersebut ada kerinduan rakyat mengenai hukum yang adil, aparat kepolisian yang mengayomi, kesejahteraan yang menyeluruh dan pemerintahan yang bersih!
***
Kita tahu bahwa dalam kurun 2 bulan terakhir ini negara bertekuk lutut dibawa hegemoni kaum kapitalis. Negara dan LSM menghabiskan waktu, tenaga dan materi untuk menghadapi bencana kebakaran hutan di Riau, Kalimantan dan NTT.
Mengapa negara tidak mampu mencabut hasrat monopoli dan keserakahan kaum kapitalis?
Bahkan sebelum itu, kita semua tahu perilaku rasisme dari oknum aparat kepolisian terhadap anak-anak Papua. Betapa rumitnya persolan bangsa kita.
Persoalan itu belum selesai, anak-anak bangsa dikagetkan dengan rencana pemberlakuan regulasi yang tidak merakyat dan berpotensi memuluskan jalannya hegemoni kaum kapitalis dan semakin berkuasanya politik oligarki.
Maka gerakan mahasiswa hadir sebagai wujud daripada dalamnya pikiran dan perasaan masyarakat Indonesia yang tidak terakomodir.
Alhasil gerakan ini menjadi suatu ketakutan bagi pemerintah. Pemerintah melalui kepolisian dengan dalih mengayomi dan melindungi, suara rakyat dalam gerakan moral tersebut tersumbat oleh gas air mata, pentungan dan ujung peluru! Ada yang meninggal!
Kekuatan moral dalam kondisi apa pun merupakan saraf keberanian yang siap berhadapan langsung dengan keadaan berbahaya sekalipun. Apalagi yang dihadapi hanyalah arogansi oknum aparat kepolisian.
Maksud Gerakan Moral
Saya jelaskan kepada Anda semua yang meragukan independensi kekuatan moral mahasiswa. Bahwa tidak ada gerakan masa yang tidak terkonsolidasi.
Setiap demontrasi yang dilakukan dipastikan telah melalui ruang-ruang dialog dan pertemuan intensif.
Hasil daripada proses analisa terhadap polemik antara pemerintah vs rakyat didiskusikan dengan semangat keberpihakan terhadap rakyat. Satu hal yang pasti bahwa tidak ada kebijakan pemerintah yang sifatnya mensejahterakan masyarakat, ditolak oleh rakyat melalui gerakan mahasiswa.
Maka independensi mahasiswa terjaga kemurniannya. Mengapa? Bahwa di dalam suatu kelompok massa, masing-masing telah bersandar pada idealisme dan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Sebagai suatu beban moral bagi seorang mahasiswa ketika mengotori kemurnian independensinya. Konsolidasi, dalam berbagai tingkatan dan situasi apapun, bebas dari kepentingan pribadi, pragmatis dan kepentingan elit kekuasaan.
Beban moral sebagai pemilik kekuatan moral, mahasiswa bukanlah kelompok yang dituduhkan oleh oknum pro-pemerintah. Karena kekuatan moral mahasiswa terlihat dari apa yang diperjuangkan.
Bertemu Empat Mata
Protokoler dan birokratik sungguh mengabaikan substansi. Bahwa setiap demonstrasi yang digelar selalu berisi tuntutan yang berdasar. Akan tetapi demonstran selalu berhadapan dengan aparat keamanan dilapangan dengan keadaan siap melakukan operasi. Ini berbahaya!
Pembuat regulasi yang hendaknya ditemui untuk menyampaikan tuntutan pun mengabaikan substansi gerakan moral tersebut dengan menggunakan berbagai macam dalil protokoler atau bersifat birokrasi.
Pemimpin diartikan bukan saja dari segi ia yang mendapat kesempatan sebagai yang berada didepan. Pemimpin, oleh karenanya disebut sebagai pemimpin manakala ia terlihat memimpin.
Kemampuan pemimpin yang terlihat memimpin tercermin dari kepekaan dan inisiatif. Bahwa kepemimpinan bukanlah struktur melainkan seberapa besar ia berfungsi.
Kepemimpinan yang terdefinisi sebagai struktur erat kaitannya dengan protokoler dan birokratik: Semuanya harus sesuai prosedur. Kepemimpinan sebagai fungsi akan selalu mengutamakan substansi. Wujudnya adalah termasuk turun langsung menemui demonstran dan bersedia mendengarkan. Bukan mengandalkan pentungan polisi!
Tulisan ini telah terbit di qureta.com pada tanggal 29 September 2019.