Berdiskusi adalah kesenangan yang hakiki bagi saya

Guru: Ibu Kandung Masa Depan Negeri (1)

Pendidikan adalah perjalanan hidup. Setiap manusia terus bergerak dalam hidupnya. Ada gerak maju, saat yang lain ada pula gerak mundur. Bahkan ada saatnya gerak di dalam diam. Dan itu berlangsung sejauh perjalanan. Sejak kelahirannya, ia (manusia) mulai hidup beriringan dengan pendidikan. Karena begitu penting maka ia membutuhkan pendidikan untuk mengada dan menjadi  dalam kehidupannya. Secara fungsional pendidikan berarti menghidupkan kehidupan.

Perjalanan selalu punya tujuan. Dan saya percaya bahwa tujuan perjalanan hidup adalah untuk menemukan kebahagiaan. Maka pendidikan harus menyiapkan anak (peserta didik) untuk menjalani kehidupan. Menjalani kehidupan dengan sikap kritis dalam kesadaran akan keterbatasan, kekaguman, keingininan untuk mengetahui segala sesuatu yang ada, yang sejauh ada dalam perjalan hidupnya.

Tentu kita merindukan pendidikan yang baik sebagai alat pemenuhan kebutuhan akan pandangan yang luas. Pada hakekatnya apa yang tersangkut dalam hal ini? Sesungguhnya, banyak pendidikan dewasa ini didasarkan atas suatu pandangan dunia yang mengatakan bahwa pencarian nafkah merupakan kebaikan tertinggi. Hingga hari ini, dominan mindset masyarakat kita dalam  melihat tolok-ukur kesuksesan sebagi hasil dari proses pendidikan adalah bagaimana mendapatkan uang yang banyak. Padahal sejatinya pendidikan adalah menjadikan manusia lebih bijaksana!.

Sebagaimana ujung daripada pendidikan ialah kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang dimaksud bukanlah hasil dari perjalan panjang itu, yang akan tampil sebagai ujung dari semua proses melainkan merupakan alat. Kebijaksanaan ialah alat untuk memperjuangkan lebih banyak hal yang berguna bagi kemanusiaan manusia dan alam semesta.

Pendidikan dalam artian seperti itu layak menjadi suatu gumulan para guru; Dalam perjalanan itu,  Apa yang musti mengatur guru? Apakah pemahaman tentang tatacara, protokol, atau prosedur-prosedur? Apakah sebentang prinsip-prinsip mendasar? Apakah segumpal filosofi? Apakah otentisitas – tentang pribadi yang dikehendaki oleh seseorang/kelompok/lembaga/masyarakat?

Lagi-lagi sang guru harus mengambil pendirian, harus memutuskan. Apapun keputusannya, orientasi manapun yang menurutnya paling baik, ia takan menanamkan nilai-nilai atau kebajikan-kebajikannya sendiri pada murid-muridnya. Ia akan menyajikan pertanyaan-pertanyaan, melakukan apa yang ia mampu untuk menggerakan mereka ke arah peningkatan kesadaran, memperdalam keyakinan masing-masing. 

Dengan memperlakukan mereka (murid) berdasarkan martabat, kebebasan dan otonomi sebagai pribadi-pribadi, sang guru menjadi perantara dalam proses identifikasi diri mereka atau dalam proses ‘belajar bagaimana cara belajar’. Maxine Greene dalam essai Guru: Si Orang Asing.

Guru yang Murid – Murid yang Guru

Friere menulis, bagi yang benar-benar mengabdi harus menolak konsep pendidikan gaya bank secara menyeluruh, menggantikannya dengan konsep tentang manusia sebagai manusia yang sadar, dan kesadaran sebagai kesadaran yang diarahkan ke dunia. Mereka harus meninggalkan tujuan pendidikan sebagai usaha tabungan dan menggantikanya dengan penghadapan pada masalah-masalah dalam hubungannya dengan dunia.

Ketika guru menggunakan konsep tentang manusia sebagai manusia yang sadar baru akan terbentuk ruang dialektis guru-murid, murid-guru. Melalui dialog, lanjut Friere, guru-nya murid – murid-nya-guru tidak ada lagi dan muncul suasana baru: Guru yang murid dengan murid yang guru.

Guru yang murid dengan murid yang guru sebagai proses pendidikan yang melibatkan intersubjektif. Guru dan murid ialah subjek sekaligus. Yang memiliki kesadaran, pengalaman dan kepribadian. Yang merasa dan mampu mengerti, memiliki daya kretaif yang dapat tumbuh dan berkembang. Guru tidak lagi menjadi orang yang mengajar, tetapi orang yang mengajar dirinya melalui dialog dengan para muridnya. Yang pada gilirannya disamping diajar, mereka juga mengajar. Mereka semua bertanggung jawab terhadap suatu proses dalam mana mereka tumbuh dan berkembang.

Guru sebagai sumber pengetahuan bagi murid; yang tahu segalanya, yang mengajar, yang mengatur, yang berpikir, yang memilih dan memaksakan pilihannya, yang berbicara, merupakan arogansi keguruan yang mengesampingkan kemampuan murid sebagi subjek. Murid menjadi penonton dan peniru, bukan pencipta. Murid menjadi kaku dan pasif. Seolah-olah murid ialah objek yang harus diubah. Demikianlah murid merupakan objek yang tak berkemampuan, tak berpengalaman, apalagi otonomi individu yang mempribadi dan berkesadaran.

Pada gilirannya, murid kemudian mengidentifikasikan diri seperti gurunya sebagai prototip manusia ideal yang harus ditiru dan digugu, harus diteladani dalam semua hal. Dampaknya lebih jauh adalah bahwa pada saatnya nanti murid-murid akan benar-benar menjadikan diri mereka sebagai duplikasi mereka dulu, dan pada saat itulah akan lahir generasi baru manusia-manusia penindas. Jika diantara mereka ada yang menjadi guru atau pendidik, daur penindasan akan segera dimulai dalam dunia pendidikan dan demikian terjadi sterusnya.  Pada titik itulah telah tampak bahwa guru telah merampas kesempatan murid dalam proses mengada dan menjadi.

Konteks diatas menerangkan kepada kita dengan jelas bahwa kini, Kita pergi ke sekolah untuk mengajar karena uang; kita membangun sekolah karena uang; dan menjadi siswa dan mahasiswa pada akhirnya untuk uang pula. Uang menjadi motivasi untuk kita dapat hidup lebih baik. Uang menjadi tujuan terakhir kita menjadi apa dan siapa.

Bahwa betapa mulia kita bercita-cita menjadi guru. Namun menjadi guru sebagai panggilan merupakan suatu motivasi murahan dan secara kasat mata realitas aktivitas keguruan kita dapat menjawab itu.

Bahwa kita menjadi guru karena uang. Jadinya, nilai-nilai yang mengakar dan tumbuh dalam budaya luhur manusia, bukanlah suatu keharusan untuk dibatinkan (diinternalisasikan) dan menjadi bahan didikan. Sebab sejak awal, nilai-nilai itu telah mati dan mengubur dirinya dalam motivasi murahan tadi.

Kalau seperti itu, siapakah yang berkenan mendidik guru? Atau dapatkah ‘kemauan manusia’ dididik? Agar di suatu masa dan tempat kita benar-benar menjadi guru karena nilai-nilai itu kita telah memilikinya. Kepemilikan kita atas nilai-nilai tersebut dapat berdampak pada mengudaranya suatu tatanan masyarakat didikan yang tidak kacau balau.

Pada akhirnya tatanan masyarakat dimasa depan sudah bisa kita tafsirkan akan seperti apa manakala sekolah kehilangan hubungan dialtektis guru yang murid sekaligus murid yang guru. Kalau guru para murid ialah para penindas (penjajah  kesadadaran) dan hamba uang maka dimasa depan akan kita dapati tuan guru dan masnyaraktnya sebagai penindas selanjutnya di dalam masyarakat yang mendewakan uang.

Tulisan ini telah terbit di Makassarbicara.com pada peringatan Hari Guru tahun 2017.

Bung Jhon

Author Bung Jhon

Saya adalah yang paling tahu siapa saya bahwa saya banyak tidak tahu.Sepanjang hidup, saya senang berfikir dan berefleksi di samping membaca. Anda tahu? saya menulis kemarin, minggu lalu, sebulan yang lalu dan setahun yang lalu; Saya baca hari ini: kini, saat ini, sekarang dan saya malu sekali. Saya malu karena tulisan saya datar, dan dangkal sekali maknanya.Saya tersadar: Bahwa menulis adalah seni mengungkapkan kebodohan.

More posts by Bung Jhon

Join the discussion 2 Comments

Leave a Reply