Kita tidak bisa tidak menerima bahwa segala sesuatu dimulai dari rumah. Rumah adalah ruang semua tentang hidup dan kehidupan. Rumah adalah satu-satunya tempat kita dapat mendekap lebih dekat rupa dan warna hidup dan kehidupan. Sejauh apa pun perjalanan, rumah adalah tempat terakhir orang kembali, karena, sekali lagi, di sana adalah tempat yang lega untuk setiap jiwa yang lelah.

Indonesia adalah rumah. Suatu rumah yang didiami oleh keanekaragaman agama, budaya, etnis, bahasa, dan lain sebagainya yang merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak. Di rumah ini, keanekaragaman itu mengakar, tumbuh, dan berkembang dengan semangat yang sama. Semangat gotong-royong!

Keragaman Indonesia kita nyata dari jenis-jenis ras manusianya. Tiap ras itu pecah menjadi bangsa-bangsa, bangsa-bangsa menjadi suku-suku, suku-suku menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil, yang masing-masing mempunyai bahasa, logat, dialek sendiri-sendiri. Di dalam yang ragam itu, ada pula agama dan keyakinan (Franz Dahler: 2004).

Tak hanya itu, keanekaragaman itu pun tampak dari pemahaman anak bangsa. Tentu saja keanekaragaman tersebut bukanlah sesuatu yang baru, tapi sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah hidup anak bangsa.

Rumah Anak Semua Bangsa

Anak Semua Bangsa itu bukan tentang keriting atau lurusnya rambut, pakai salib atau songkok, ke gereja, masjid atau vihara. Anak Semua Bangsa bukan persoalan siapa itu siapa, dari mana asalnya, apa sukunya. Anak Semua Bangsa tidak berbicara tentang siapa makan dan minum apa, tidur di mana, dan bepergian ke mana saja.

Dalam roman kedua Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa adalah periode observasi atau turun ke bawah mencari serangkaian spirit lapangan dan kehidupan arus bawah pribumi yang tak berdaya melawan kekuatan raksasa Eropa. Di titik ini, Minke diperhadapkan antara kekaguman yang melimpah-limpah pada peradaban Eropa dan kenyataan di sekeliling bangsanya yang kerdil. Sepotong perjalanannya ke Tulangan Sidoarjo dan pertemuannya dengan Khouw Ah Soe, seorang aktivis pergerakan Tionghoa, korespondensinya dengan keluarga De La Croix (Sarah, Miriam, Herbert), teman Eropanya yang liberal, dan petuah-petuah Nyai Ontosoroh, mertua sekaligus guru agungnya, kesadaran Minke tergugat, tergurah, tergugah, bahwa ia adalah bayi semua bangsa dari segala zaman yang harus menulis dalam bahasa bangsanya (Melayu) dan berbuat untuk manusia-manusia bangsanya.

Indonesia adalah rumah untuk Anak Semua Bangsa. Anak Semua Bangsa adalah bayi bangsa-bangsa yang berpikir lebih dalam karena tergugah oleh kondisi rumah yang mencemaskan. Anak Semua Bangsa adalah mereka yang berbicara lantang dalam bahasa bangsanya, mengaduhkan, menggugat, dan menggurah sebab-sebab rumah yang kerdil. Anak Semua Bangsa adalah mereka yang mengagungkan keanekaragaman isi rumahnya. Mereka yang mengindahkan kepentingan rumah di depan kepentingan pribadinya. Mereka yang berbuat untuk penghuni rumahnya, merekalah Anak Semua Bangsa.

Bangsa Indonesia membutuhkan anak bangsa yang berpikir melampaui zamannya. Anak bangsa yang responsif terhadap kenyataan bangsanya. Anak bangsa yang berbuat dalam keluasan alam pikiran Indonesia. Alam pemikiran Indonesia adalah semesta nilai dan norma yang tumbuh dan mengakar dalam peradaban Indonesia.

Menuju Indonesia sebagai Rumah Anak Semua Bangsa, anak satu bangsa harus mampu berpikir dan berbuat secara menyeluruh dan terbuka. Anak bangsa lain harus komunikatif dan mendulang keakraban bangsa-bangsa. Anak bangsa tertentu tidak menutup diri dalam nilai-nilai suku (kebudayaan suku).

Impian Sajakah?

Melihat kenyataan bahwa nasionalisme sempit dan sukuisme primitif masih berkecamuk di banyak tempat, maka wajarlah kalau banyak anak bangsa akan menganggap bahwa Indonesia sebagai Rumah Anak Semua Bangsa tidak lebih dari utopis ataukhayalan belaka.

Apakah benar impian belaka? Bukankah Bhinneka Tunggal Ika merupakan ide persaudaraan segala bangsa? Tidakkah disadari bahwasanya ide ini memberikan kepada Anak Semua Bangsa daya tarik yang luar biasa. Manakah yang lebih realistis, bersikap konfrontatif, mencari musuh dalam bangsa lain atau bersikap inklusif, menerima bangsa lain sebagai saudara?

Indonesia sebagai Rumah Anak Semua Bangsa justru berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sosial-budaya, ekonomi-politik, dan peradaban Indonesia yang sangat realistis. Sosial-budaya, ekonomi-politik dan peradaban Indonesia serta semangat menjadikan Indonesia sebagai Rumah Anak Semua Bangsa saling berkaitan. Karena ciri bangsa yang kerdil adalah peradaban bangsanya tampak kerontang yang disebabkan oleh mentalitas-mentalitas sempit.

Teilhard De Cardin benar ketika berkata bahwa: “Karena bumi bulat, tidak datar seperti digambarkan orang dulu, maka bangsa-bangsa akan saling merembes, saling menghangatkan satu sama lain, sehingga terbina satu energi baru yang mahahebat, konsentrasi kesadaran kolektif umat manusia.”

Segala penyelewengan, sengketa, kepicikan mental akhirnya tidak mampu menghentikan Indonesia sebagai Rumah Anak Semua Bangsa. Jika sampai ke taraf itu, perang antar-keanekaragaman dapat pula dihentikan, seperti halnya bahwa perang antar-SARA tak dimungkinkan lagi dalam suatu negeri yang didiami sebagai rumah sendiri.

Tulisan ini telah terbit di rilis.id pada tanggal 27 Juni 2017.

Bung Jhon

Author Bung Jhon

Saya adalah yang paling tahu siapa saya bahwa saya banyak tidak tahu.Sepanjang hidup, saya senang berfikir dan berefleksi di samping membaca. Anda tahu? saya menulis kemarin, minggu lalu, sebulan yang lalu dan setahun yang lalu; Saya baca hari ini: kini, saat ini, sekarang dan saya malu sekali. Saya malu karena tulisan saya datar, dan dangkal sekali maknanya.Saya tersadar: Bahwa menulis adalah seni mengungkapkan kebodohan.

More posts by Bung Jhon

Join the discussion 4 Comments

  • Tulisannya cukup menarik Bang, dan memang kondisi nyatanya seperti itu. Salam kenal sebelumnya…

    • Avatar Jhon Fernandes Dollu Klaping says:

      Halo Bang Dwi Wahyudi,

      Terima kasih telah meninggalkan semangat. Salam hangat dari saya, semoga kita menjadi orang-orang yang menginspirasi, dan melalui kita orang lain menjadi hidup lebih baik setiap hari.

      Salam..

  • Keren bang … rumah memang tempat kita pulang dan melepas lelah … sudah semestinya …

    • Avatar Jhon Fernandes Dollu Klaping says:

      Terimaksih Bang Amar, sudah meninggalkan semangat. Semoga hari-hari kedepan ini menjadi lebih berkontribusi untuk bangsa dan negara.

Leave a Reply