Hampir setiap hari, kita menyaksikan di berbagai media bahwa kenyataan-kenyataan adab politik di Indonesia begitu mencemaskan dalam pergumulan bangsa kita menuju ‘adil, makmur dan sejahtera.’

Adab politik negeri kita seperti tengah mengalami kemerosotan suatu paradigma politik yang utuh; paradigma politik semacam itu akhirnya memicu timbulnya ketidakjujuran politikus dan pejabat pemerintah.

Cita-cita kemerdekaan bangsa kita dalam kondisi seperti itu ibarat seekor kerbau yang lebih mudah masuk melalui lubang jarum daripada upaya bangsa ini mencapai cita-cita kemerdekaan.

Betapa tidak jujurnya politikus dan rakyat (kita); berharap akan perubahan dengan dibayar untuk memilih; terpilih dengan cara membayar untuk dipilih; melewati tangga menuju puncak dengan merebahkan tangga yang lain; berkata ‘jujur’ untuk kebohongan besar; mendengar nasihat bijak, membaca kitab suci dan memahami kenyataan sekeliling dengan ‘buta-tuli’ dan ‘cacat jiwa-cacat paham’.

Kita telah terbiasa dengan tidak jujur atas ketidakjujuran. Dan korupsi adalah buah dari ketidakjujuran tersebut. Ketidakjujuran bersumber dari ide tanpa cahaya kebaikan. Perilaku buruk para elit kita berupa korupsi, disfungsi kekuasaan yang tiada kendala, kepentingan individu, kelompok dan golongan rasa-rasanya bergerak lebih cepat dari detak jantungnya sendiri, merupakan konkretisasi dari buah ketidakjujuran kita.

Apakah betul kita (rakyat) diwakili? Partai politik membuka jalan bagi para calon kepala daerah dan DPR(D) sebagai ‘penggarap lahan’. Rakyat sebagai lahan garapan. Semua partai seperti menyembah pada rakyat dengan janji-janji manis untuk memperoleh dukungan rakyat. Di sini, yang memiliki kuasa bukanlah partai tetapi rakyat.

Namun setelah pemilihan umum dan muncul pemenangnya, maka yang menjadi pemegang kuasa kemudian adalah partai pemenang, bukan rakyat lagi (Edi Ah Iyubene 2015). Jelas, siapa pun tidak berharap malapetaka (korupsi) datang menimpa.

Korupsi merupakan malapetaka yang bersumber dari ketidakjujuran manusia atas manusia. Siapa pun ia, sekalipun dalam keadaan yang sangat miskin, jauh dalam lubuk hatinya yang dalam, ia berdoa kepada Tuhan walaupun dengan mengenakan bekas baju koruptor, di atas puncak tumpukan sampah, di sudut kota yang kumuh, ia berharap; jauhkanlah hamba yang berdosa ini dari malapetaka.

Cukuplah kiranya bagi kita menuduh geng motor, begal, bahkan pencuri sebagai orang-orang yang tidak beriman. Mereka itu korban dari ketidakjujuran kita. Mereka itulah anak kandung dari kemiskinan; yang kehilangan harapan untuk bersekolah dan punya cita-cita jadi dokter. Begitu banyak kejahatan yang menimpa bangsa kita menjadi puncak tertinggi dari buah ketidakjujuran kita.

Sebagaimana yang kita saksikan dalam beberapa bulan terakhir, ada begitu banyak kepala daerah, pejabat pemerintah yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Bahkan hingga bulan Mei 2019, tercatat 18 kasus korupsi besar yang mangkrak. Lebih banyak membutuhkan kekompakan dan keberanian pimpinan KPK untuk mengusut tuntas kasus-kasus tersebut. Baca selengkapnya disini

Tragedi yang menimpa orang-orang ‘terhormat’ di negeri ini merupakan malapetaka atau boleh saya sebut sebagai kebiadaban manusia atas budaya luhur manusia yang berkeadaban.

Apakah yang mereka (kaum elit) wakilkan dari kita? Kita perlu menyoal kampanye-kampanye kemanusiaan; membangun manusia, melayani rakyat miskin kota, peduli terhadap wong cilik. Baiknya kita insaf bahwa kepedulian para elit itu merupakan kepedulian yang membunuh kemanusiaan rakyat (kita).

Bagaimana tidak, elit A (politikus/pejabat negara) berjalan menuju puncak kekuasaan dengan mengompori kita bahwa elit B (politikus/pejabat negara) memiliki racun/rencana jahat untuk membunuh rakyat secara perlahan. Begitulah cara orang mengejar jabatan sekarang.

Kita tahu sekarang bahwa bagaimana mungkin seseorang memiliki cita-cita luhur; membangun manusia, melayani rakyat miskin, peduli terhadap wong cilik apabila antikemanusiaan (tindakan yang tidak selaras dengan asas kemanusiaan) menjadi titik pijak kampanye kemanusiaan? Jelas kemunduran/kebiadaban itu sudah ada sejak kaum elit itu berpidato (kampanye) tentang kemanusiaan.

Langkah Kita

Korupsi merupakan sikap tidak berbudi di atas budaya luhur manusia. Korupsi ialah malapetaka bagi bangsa manusia. Korupsi sebagai buah dari ketidakjujuran itu merupakan malapetaka bagi kehidupan bersama. Karena itu korupsi harus dihapuskan. Ini hanya bisa dilakukan apabila ide-ide yang lahir dari refleksi atas kasus-kasus korupsi, perlu disikapi dengan akal budi luhur.

Pilar-pilar utama masyarakat (lembaga keagamaan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, ideologi politik, lembaga pemerintah, gender, lembaga keluarga, dan organisasi kepemudaan) bersama-sama, seiring sejalan dengan KPK untuk memberantas korupsi.

Tugas manusia tidak terkecuali para elit tadi ialah berusaha mencapai kesadaran puncak (jujur/tulus) bahwa kondisi bangsa dan negara yang mencemaskan ini, seperti jurang kaya-miskin, kota-desa, merosotnya demokrasi, maraknya kolusi, nepotisme, intoleran dan anti-Pancasila hanya dapat di atasi dengan tidak berdiam diri apalagi terus bergerak dalam ketidakjujuran kita.

Demikianlah kelak, di atas dasar kejujuran itu akan ada keberanian secara total untuk mengoreksi segenap kebobrokan para elit, dan pada saat yang sama, pilar-pilar utama masyarakat kita tergugah untuk membenihkan semangat revolusi mental (mental jujur) di benak dan pikiran generasi muda.

Pada akhirnya, sikap kritis yang solutif, berani secara total karena benar, merasa bersalah kalau tidak peduli terhadap kondisi masyarakat yang memburuk (dihantui malapetaka) akan mengakar, bertumbuh dan berbuah dalam jiwa generasi penerus.

Tulisan ini telah terbit di koran Tribun Timur Makassar & victory news.id pada tahun 2017

Bung Jhon

Author Bung Jhon

Saya adalah yang paling tahu siapa saya bahwa saya banyak tidak tahu. Sepanjang hidup, saya senang berfikir dan berefleksi di samping membaca. Anda tahu? saya menulis kemarin, minggu lalu, sebulan yang lalu dan setahun yang lalu; Saya baca hari ini: kini, saat ini, sekarang dan saya malu sekali. Saya malu karena tulisan saya datar, dan dangkal sekali maknanya. Saya tersadar: Bahwa menulis adalah seni mengungkapkan kebodohan.

More posts by Bung Jhon

Leave a Reply