ADELINA, perempuan yang dibeli dengan harga Rp.150.000 itu menambah babak baru kasus perdagangan manusia Indonesia khususnya di Nusa Tenggara Timur (NTT). Kasus yang demikian menyengat nurani itu sudah lama digumuli. Sudah banyak orang menantikan akhir ceritanya.

Sebagai manusia, kita tidak bisa menutup mata untuk melihat betapa kejinya sesama kita, manusia. Untuk memenuhi kebutuhan hidup dan barangkali mimpi setinggi langit, orang mencari kerja (menjadi TKI); untuk memenuhi tuntutan hidup, sebagian orang menjadi penjual manusia.

Kondisi yang demikian tragis ini, telah berlangsung begitu lama. Usainya penjualan manusia ini, entah kapan. Seperti sebuah film, suatu waktu akan berakhir juga. Saya yakin, aktor-aktor perdagangan manusia ini puas menjalani perannya, puncaknya ialah peti mayat berisi Adelina.

Di belakang layar, sang sutradara sedang menyusun lagi alur cerita tentang bagaimana memberangkatkan beberapa orang lagi hanya dengan sedikit pengeluaran, yah, beberapa kumpul sirih pinang.

Sebagai simbol penghargaan, sirih pinang telah menjadi warisan budaya turun temurun. Mama-mama di kampung, kalau ada orang yang bawakan sirih pinang barang satu dua kali makan sekalipun, mereka sudah merasa dihargai, merasa punya keluarga.

Tidak heran, manusia NTT bisa dibeli bahkan dengan sirih pinang itu. Mama sayaaaaaang eee; itu penghargaan atau penghinaan?
Dengan sirih pinang itu, kasus yang sama dengan korban yang berbeda bisa jadi akan kita jumpai lagi di episode selanjutnya, dengan alur pikir yang telah direncankan oleh stutradara tadi.

Kemiskinan dan Agama

Kemiskinan–kehidupan masyarakat banyak yang diliputi keadaan tidak sejahtera–memaksa orang-orang di kampung yang juga tidak melek penjualan manusia, menjadi tenaga kerja utusan daerahnya. Sah tidaknya berkas atau dokumen penting terkait bukanlah hal yang perlu diperhatikan.

Keadaan daerah yang demikian akrab dengan kemiskinan dan kurangnya pengetahuan tentang tragedi penjualan manusia, para calo, orang yang merasa ‘kasihan’ menyakisakan keadaan yang buruk itu kemudian sangat hati-hati memanfaatkan betul situasi ini untuk mencari nafkah.

Bau busuk penjualan manusia melalui ketenagakerjaan menambah buruknya tanggung jawab manusia yang melembaga di NTT. DPRD, Polri dan pemuka agama merupakan lembaga yang harusnya paling malu menyaksikan tragedi kemanusiaan yang tidak berujung ini.

Anggota DPRD hanya urus kepentingan fraksi dan fokus memenuhi kebutuhan diri sendiri di rumah rakyat. Produk hukum pun akhirnya berorientasi menguntungkan orang-orang tertentu saja.

Orang-orang yang lahir, tumbuh dewasa di kawasan kumuh seperti itu, lalu hidup sebagai manusia yang melembaga harusnya yang lebih bergetar hatinya, bangkit dan menghentikan penjualan manusia ini.

Mengapa kasus penjualan manusia ini terus berlangsung, bahkan angka kematian yang diakibatkan oleh pengiriman tenaga kerja legal dan ilegal ke negara-negara tetangga ini meningkat setiap tahun tetapi belum menemukan benang merah masalahnya? Dimana peran pemerintah dan penegak hukum?

Saya khawatir, oknum pemerintah dan oknum polisi ikut bermain memperpanjang babak demi babak cerita penjualan manusia ini. Bagaimana tidak, mereka yang urus semua kasus ini tapi begitu-begitu saja hasilnya.

Sebagai manusia yang melembaga dalam lembaga tersebut, mereka seharusnya lebih malu sekali dan mulai menyudahi tragedi kemanusiaan itu dengan serius penuh hati nurani.

Selanjutanya, institusi agama, lembaga yang dimana mempercakapkan Tuhan setiap hari dalam bahasa langit, hingga larut dan kita lupa tentang keberadaan dan kebagaimanaan pemeluk-pemeluknya di bumi tempat kita ada. Kemiskinan dan perdagangan manusia ini tidak akan selesai hanya dengan berseru kepada Tuhan melalui doa-doa, melalui pembahasan tentang surga yang indah itu di atas mimbar.

Manusia yang melembaga dalam agama, punya tanggung jawab moral untuk keluar dari lembaga tersebut dan ikut merasakan duka akibat kemiskinan, larah akibat perdagangan manusia, putus asa akibat ketidakadilan hukum dan jauh dari hidup yang sejahtera. Supaya agama tidak hanya menjadi candu rakyat tetapi agama menjadi lembaga yang membebaskan.

Keadaan dimana manusia saling jual ini menggarisbawahi peradaban manusia bahwa sejarah hidup umat manusia tidak lepas dari kesadaran yang gelap. Kesadaran gelap telah membawa manusia memasuki ruang-ruang kepuasan individual. Asalkan ‘saya’ sejahtera. Orang lain? Persetan!

Dengan demikian, aktivitas dehumanisasi sebagai suatu cerita hidup yang tidak pernah usai ini perlu sekali digumuli oleh agama, kepolisian dan lembaga negara, bahwa sebagai manusia yang melembaga, emosi yang mengilhami nafas lembaga haruslah emosi yang mendatangkan kebaikan bagi semua orang.

Pada akhirnya kita akan berani bermimpi bahwa kelak, di suatu hari: Semua manusia – kaya dan miskin, idiot dan cerdas, baik dan buruk keadaannya, buta agama dan taat agama, buta huruf dan melek huruf, dapat hidup bersesama sebagai manusia.

Dalam pada itu, mereka seia, sekata, seperasaan, sepenanggungan sebagai manusia. Suatu tatanan kehidupan manusia yang saling terima, saling tolong, berbelas kasih, dan merahmati. Hidup bersesama sebagai akibat dari sebab-sebab tersebut. Semoga memungkinkan!

Telah diterbitkan di rilis.id dengan judul yang sama pada tanggal 03 April 2018

Bung Jhon

Author Bung Jhon

Saya adalah yang paling tahu siapa saya bahwa saya banyak tidak tahu.Sepanjang hidup, saya senang berfikir dan berefleksi di samping membaca. Anda tahu? saya menulis kemarin, minggu lalu, sebulan yang lalu dan setahun yang lalu; Saya baca hari ini: kini, saat ini, sekarang dan saya malu sekali. Saya malu karena tulisan saya datar, dan dangkal sekali maknanya.Saya tersadar: Bahwa menulis adalah seni mengungkapkan kebodohan.

More posts by Bung Jhon

Leave a Reply