Setelah sarapan, ngeteh atau ngopi pagi kita memulai hari. Sebagai individu, kita semua punya kehidupan masing-masing. Dengan demikian, tentu tidak sama tujuan kita menjalani hari yang cerah di suatu hari di bawah langit kota dengan kadar udara yang cukup keruh dan tubuh yang cukup bugar.
Tujuan yang tidak sama itu, turut menentukan titik awal langkah kita, berat atau ringan. Bahwa ada orang yang ingin ke suatu tempat tetapi tidak mengetahui rute yang tepat untuk sampai kesana. Orang-orang demikian ini akan banyak menghabiskan waktunya untuk bertanya dan atau tersesat karena kebingungan berhadapan dengan banyaknya jalan setapak dan beberapa lorong.
Ada orang yang mengetahui rutenya, tetapi keliru memilih kendaraan. Sehingga tiba di tempat tujuan dengan sangat lambat atau jika tidak, balik arah karena masalah kendaraan.
Ada orang yang ‘selesai’ dengan beberapa ilustrasi di atas. Ia memiliki pandangan yang terang tentang tujuannya. Lebih penting lagi ialah bahwa ia sudah selesai dengan dirinya sendiri – ia tahu apa yang sesungguhnya ia tidak tahu, sebelumnya.
***
Dalam berbagai tingkatan, kita berjuang hingga akhirnya kita sadar bahwa kita tidak memiliki apa-apa, menghasilkan apapun, membanggakan sesuatu pun itu, selain harga diri.
Harga diri adalah keadaan dimana pikiran kita mengambil bagian dalam konsep tentang nilai manusia yang tidak terbatas. Bahwa kenapa anjing tidak segan-segan melahap habis tulang meskipun anaknya kelaparan: bahwa kenapa binatang pada umumnya serakah, individualis atau tidak beradab, karena binatang tidak paham itu. Mereka tidak punya harga diri. Tapi untuk suatu pembelajaran, binatang menjadi sumber pembelajaran untuk manusia.
Frasa ‘binatang’ mengandung makna yang rendah dalam kehidupan manusia. Bisa jadi karena tadi, tidak ada kepemilikan atas harga diri.
Oleh karena itu, harga diri sebagai manusia adalah sesuatu yang mahal untuk manusia. Jika ada keadaan dimana binatang merobek-robek tubuh manusia, bukan berarti manusia tidak ada harga dirinya, sebagimana mereka mencabik-cabik hewan peliharaan yang tidak ada ‘harga dirinya’. Tetapi karena binatang tidak memiliki kesadaran semacam itu.
Bahwa harga diri manusia berbanding lurus dengan segala sesuatu yang baik, yang mampu ia hasilkan; jujur, disiplin dan kesadaran akan kekuatan kepercayaan. (Bagian ini tidak membahas tentang harga diri manusia yang dalam kenyataannya saling membantai karena hasrat untuk kenyang sendiri)
Secara internal, jujur adalah ciri umum untuk harga diri manusia sebagai individu. Secara eksternal, bisa diartikan dalam kondisi dimana seorang individu dapat diterima keberadaannya sebagai manusia dalam lingkungan sosialnya.
Apa itu kejujuran? Pengakuan tanpa ragu. Bukan hanya itu. Menyatakan yang sesungguhnya. Belum cukup.
Jujur itu tidak hanya menyatakan sesuatu yang sesungguhnya. Seseorang dituntut untuk berkata jujur bukan karena hanya pengertiannya seperti itu. Tetapi karena, jujur itu baik. Jujur itu terhormat. Jujur itu terpuji. Jujur itu dibutuhkan semua orang ~ (Romo Frans Magnis Suseno)
Jujur adalah harga diri.
Jujur itu tidak hanya baik, ia juga berguna. Memang banyak hal baik yang telah kita jumpai, juga mungkin akan kita jumpai; Begitu pula telah kita berikan. Namun, bergunakah semua itu (Semua yang telah kita jumpai dan berikan)?
Orang berkata, “Kita boleh berbuat apa saja sesuai dengan apa yang kita inginkan.” Benar! Tetapi, tidak semua yang kita inginkan itu baik. Dan kalaupun apa yang kita inginkan itu baik – bergunakah ia?
Coba kita renungkan:
Setelah menyiapkan segala sesuatu, kita kemudian beranjak dari rumah menuju kampus atau dimana pun pada akhirnya kita pergi. Kita menjumpai sahabat, teman, junior maupun senior. Sambil bersalaman; Apa kabar? (masing-masing kita bertanya). Namun, sungguhkah kita ingin mengetahui kabarnya?. Bagiku, menanyakan kabar berarti kita menanyai kehidupan (seseorang). Sementara kehidupan ialah hidup itu sendiri. Cukupkah dengan berkata; Apa kabar saudara?
Dan ironis nya ialah; kita bersalaman karena kebiasaan (organisasi). Karena kebiasaan, kita bersalaman tetapi dengan tidak saling menatap; dengan mengarahkan pandangan kepada hal lain disekitar; sambil berbicara dengan orang lain; atau sambil merunduk namun hati meninggi; Supaya tidak meninggalkan kesan tak menghargai. Sesederhana itu kah kehidupan ini (Yang Penting: Saya memberi salam, memberi senyum, menanyai kabar – meskipun terpaksa). Semua serba “yang penting”.
Baik itu baik, benar. Tetapi berguna itu begini;
Kau ambilkan sebotol bensin dan menuangkannya di tanggki motor yang mogok atau akan mogok. Betapa bergunanya bensin itu untuk saraf dan emosi ‘motor’.
Saya melihat bahwa tidak ada kemungkinan ketidakjujuran melahirkan kebergunaan. Jika kau bertanya; Bukankah itu baik, jika saya menyembunyikan seseorang yang hendak di cambuk oleh karena mencuri? Saya akan bertanya; Apakah perbuatan baik itu? Dapatkah usaha menyembunyikan itu melahirkan kebergunaan? Dan untuk apa kau melakukannya? Disebut kebergunaan/menjadi berguna manakalah dia (si pencuri) menjadi sadar akan perbuatannya. Menjadi sadar berarti mengetahui bahwa perbuatan itu tidak baik karena bertentangan dengan norma, tidak cocok untuk harga diri.
Tetapi untuk semua ini, tidak begitu mudah dilakukan oleh generasi ular beludak (semoga bukan kita: Saya dan Anda); Sebab orang yang serba kekurangan (Tahu – Spritualitas, emosionalitas, Intelektualitas, Integritas) lebih sulit bertindak jujur senantiasa, sebagaimana terucap dalam peribahasa “Kantong Kosong Sulit Berdiri Tegak.”
Oleh karena ketidakjujuran, kita telah bersalah terhadap diri sendiri. Jujur itu baik sekaligus berguna.
Bersambung…..
#KekasihManusia.
Untuk kekasih ~ Bahwa di setiap jengkal udara, akan selalu ku sematkan cinta dan kasih sayang, berharap engkau dapat menghirupnya.
Mantaps bung.
Terima kasih Bung Henry.
Mari kita berjuang Menjadi Berguna.
Salam hangat dari Bumi Khatulistiwa.