Melalui artikel dengan judul Coronavirus: Apa yang Terjadi dengan Rencana Kita dalam blog ini sebelumnya, mengingatkan kepada kita bahwa kita memiliki kemampuan merencanakan ini dan itu; tetapi juga mengingatkan kita bahwa kita bukan siapa-siapa dihadapan Kehidupan.
Siapakah aku? tidak lebih adalah seumpama uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.
10 April 2020, pada Jumat yang Agung itu, umat Kristen di seluruh dunia mengingat rayakan kematian Kristus, sudah tentu dengan cara yang tidak sesuai dengan rencana semua umat.
Jadi, apakah yang sudah kita rencanakan untuk masuk ke dalam suasana pengorbanan Kristus yang begitu menderita, kematian yang mencekam dan kebangkitan yang sungguh membanggakan?
Apakah jalan salib yang khusyuk? atau apakah akan menyaksikan drama musikal tentang penderitaan Kristus bersama semua jemaat? atau akan mengadakan lomba paduan suara untuk anak-anak PAR (Persekutuan Anak dan Remaja)? ataukah lomba melukis tragedi jalan salib untuk anak-anak sekolah minggu?
Kemudian di dalamnya kita semua akan turut serta, larut dalam penderitaan Kristus; kita menyesal dan malu menyaksikan Jumat yang Agung melalui kematian Kristus yang begitu mencekam.
Apa yang terjadi dengan rencana paskah tahun ini? realitas sungguh berbanding terbalik dengan harapan kita semua, berbeda seratus delapan puluh derajat dengan rencana kita, bukan? Sungguh, kita bukan siapa-siapa.
Tangisan yang Hening
Dalam suasana penghayatan jalan kesengsaraan Kristus, kita juga diperhadapkan dengan ancaman pandemik Covid-19 yang membuat jutaan manusia menderita kelaparan, puluhan ribu orang meninggal, ratusan ribu bahkan dirawat di rumah sakit.
Puluhan ribu petugas kesehatan bahkan mengalami penderitaan batin karena harus membatasi kedekatan mereka dengan anak terkasih, ayah ibu yang sudah lanjut usia, kekasih hati yang tersudut. Kita tahu bahwa mereka kuat dalam tugas dan panggilan hidup mereka: kita tahu bahwa anak-anak mereka sudah diberi pemahaman mengenai tugas dan panggilan hidup orang tua mereka: kita paham bahwa ayah ibu yang lanjut usia harus merelekan anak-anak kebanggaan mereka dan mereka dengan sabar dalam keadaan pasrah.
Jutaan rakyat kehilangan pekerjaan, jutaan orang yang mendapatkan upah harian melakukan cara-cara baru untuk beradaptasi agar bisa cukup makan dan minum di rumah, tetapi berpotensi terserang wabah virus corona terhadap kesehatan mereka. Semua orang menderita.
Simon dari Kirene & Yudas Iskariot: dua gambaran orang-orang di sekitar penyaliban Kristus
Pertama, Simon dari Kirene (baca Lukas 23:26-32), apakah ia tahu salib siapa yang ia pikul? ia hanya tahu pada saat itu ada tiga orang penjahat yang sedang dihukum memikul salib masing-masing. Hal itu karena berhubungan dengan hukum yang berlaku di Yahudi pada masa itu (sudah pasti bahwa kematian melalui salib adalah sungguh hina. Bahwa orang-orang yang dihukum mati melalui salib itu artinya dosa nya sudah sungguh-sungguh berlapis). Simon dari Kirene memulai dengan beban yang begitu berat, tetapi berakhir dengan kebahagiaan yang luar biasa. Ia tidak pernah menyangka bahwa ia memikul salib Tuhan.
Kedua, Yudas Iskariot, Ia adalah satu dari kedua belas murid Yesus. Singkat cerita, menjual Yesus menjadi pilihan hidupnya sebagai seorang murid, juga sebagai pilihan atas dirinya sendiri – setelah ia sadar atas perbuatannya, ia mengembalikan uang tersebut. Imam-imam kepala menolak uang itu dimasukan ke dalam peti persembahan karena dianggap uang darah (bandingan: Matius 27:3-8). Uang tersebut lalu digunakan untuk membeli tanah yang akhirnya menjadi kuburan bagi orang asing. Yudas menjual Yesus diawali dengan ciuman dan diakhiri dengan tali gantungan (diawali dengan senang diakhiri dengan kematian yang mengenaskan – bunuh diri)
***
Ada perbedaan yang sangat signifikan antara Simon dari Kirene dan Yudas mengenai hasil akhir atas semua proses yang mereka lalui. Gambaran orang-orang disekitar penyaliban Yesus menunjukan kepada kita dua hal yaitu; Ada orang yang tidak tahu apa-apa harus pikul salib dan ada yang pergi jual Yesus lalu akhirnya gantung diri.
Penderitaan adalah salib yang harus kita pikul. Apakah kita pernah dimintai persetujuan atas penderitaan yang kita alami? Tidak pernah Tuhan meminta persetujuan kepada kita. Tiba-tiba saja salib itu datang dan kita harus memikulnya. Mau tidak mau kita harus memanggul nya – itulah Simon dari Kirene.
Anda tahu? proses persetujuan yang tidak pernah kita lalui bersama Tuhan atas semua penderitaan ini, juga mengandung pengertian iman bahwa kita tidak seorang diri memikul salib yang berat sekalipun, yang kita alami bahkan harus menanggungnya dengan berdarah-darah. Akan ada “Simon dari Kirene” baru yang menemui kita di dalam perjalanan menuju golgota. Tanpa kita sadari tiba-tiba saja kita sudah tiba di akhir proses.
Mengikut Kristus sebagai murid adalah suatu posisi yang tidak biasa. Anda adalah murid Sang Guru yang pernah membuat banyak sekali mujizat di hadapan rakyat yang sedang merindukan sosok Mesias. Anda juga adalah murid Sang Guru yang bahkan membangkitkan orang yang sudah empat hari lamanya di liang kubur, ialah Lazarus yang dibangkitkan itu.
Dalam situasi seperti ini, iblis bekerja dengan keras untuk memberikan berbagai macam pilihan kepada Anda: apakah uang, apakah popularitas, apakah kekuasaan? semua itu mungkin bagi iblis. Dan kita tahu bahwa Yudas diperhadapkan dengan pilihan tersebut. Kita juga tahu bahwa setiap pilihan kita, apakah sesuatu yang bisa kita pikul atau tidak bisa, semua mengandung resikonya masing-masing. Yudas memilih menjual Yesus dengan ciuman dan harus berakhir bunuh diri.
Kemenangan yang Hening
Paskah adalah kemenangan sejati atas kematian yang dikukuhkan oleh Yesus untuk kita. Yesus berjuang berdarah-darah untuk kita agar kita tidak mengalami penderitaan sehebat itu. Hal ini tidak berarti bahwa kita akan bebas dari penderitaan sepanjang hidup. Tidak. Hanya semata-mata bahwa kuasa dosa yang dahsyat itu yakni maut telah dikalahkan. Artinya, kita menjadi manusia yang tertebus.
Sudah cukup, dan sangat cukup yang dilakukan oleh Kristus. Kini kita mungkin saja mengalami kepedihan yang dalam, ketidakadilan, kita pun mungkin adalah kaum papa dan orang-orang miskin itu. Barangkali kita pun adalah korban dari kesenjangan sosial itu. Terutama dan utama, mungkin kita adalah orang-orang yang mengalami ampas dari mewabahnya covid-19; Kita menderita mencari penghidupan, kita kehilangan orang-orang terkasih, kita berpisah sementara waktu dengan keluarga yang membanggakan dan penuh cinta. Kita kehilangan banyak sekali momen yang membahagiakan.
Kini, kita Paskah lagi sahabat. Suatu kemenangan yang kita rayakan secara hening, khusuk dan tanpa euforia sesaat. Kemenangan yang hening ini menyingkapkan kepada kita suatu pengertian iman bahwa akan datang saatnya, suatu kemenangan kita rayakan hanya di dalam batin, hanya di dalam kekuatan imajinasi yang bisa bergerak melampaui ruang dan waktu, dan hanya melalui inspirasi titik-titik air hujan yang jatuh dari atas ke bawah untuk semua makhluk, baik atau buruk jenis dan rupanya. Air hujan itu menghidupkan segala sesuatu; tunas-tunas yang layu menjadi subur; padang yang kering menjadi hijau; sungai-sungai menjadi lebih jernih akhirnya: rusa-rusa di padang belantara tidak haus lagi. Suatu kemenangan yang hening.
Oleh karena itu, setiap hari sebaiknya kita imani sebagai Paskah. Agar dengan demikian iman kita penuh. Dari situ, Kemenangan semua untuk semua dapat kita inisiasi kembali. Kita mulai lagi. Kita berjuang terus. Saatnya kita mengilhami kemenangan itu dalam pemikiran, perasaan, tanggapan dan tindakan. Saatnya kita memberi kemenangan pada alam raya dan sesama, meskipun sekecil-kecilnya.