Kebijaksanaan adalah mata air kehidupan. Kehidupan membutuhkan mata air kehidupan ini untuk menghidupkan harapan, cita-cita, semangat berjuang, dan lebih jauh daripada itu ialah memberi makna pada kehidupan.

Manusia, dalama segala upaya mencari tahu diberhadpkan dengan berbagai pilihan data, kumpulan pengetahuan, terutama di era internet ini. Informasi, data, kumpulan pengetahuan yang ditemukan menjadi sumber untuk menambah pengetahuan, memperkuat pemahaman dan memperlengkapi kebijaksajanaan.

Ada tingkatan pengetahuan sebagai hasil usaha mencari tahu yaitu tingkat tahu atau mengetahui, paham atau memahai – memiliki pengertian tentang hal apa yang dipelajari, dan bijaksana atau memiliki kebijkasanaan. Hal ini mengingatkan kepada kita bahwa ternyata memiliki pengetahuan saja belum cukup. Kita harus juga paham dan akhirnya memiliki kebijaksanaan atau mampu bersikap bijaksana sebagaimana yang kita ketahui.

***

Kita tidak mengerti

Dalam keadaan tidak mengerti, kita tergerak untuk mencari tahu. Pertanyaan selalu mendahului segala upaya kita. Kita bertanya tentang hal-hal yang tidak kita mengerti. Kita bertanya dan menemukan jawaban. Kadang, tidak ada jawaban yang memuaskan. Kita terus mencari tahu, namun kita tidak pernah puas dengan semua jawaban.

 

Kenapa Harus Saya:

Saya berhenti sejenak di hari itu. Sore menjelang senja, tanpa kicau suara burung, di tepian pantai yang terletak di ujung paling Timur, Timur. Menakjubkan!

Hari itu pelan-pelan berakhir. Yang tersisa di sana adalah, sejumlah bekas perjalanan panjang, berat dan sedikit berdebu. 

Sebelum berakhir, senja hari itu berperpesan padaku bahwa semua hal yang indah di bawah kolong langit ini tidak abadi. Seperti uap yang kelihatan sebentar lalu lenyap. Atau, seperti sekuntum mawar yang indah, kelak menjadi sekam dan akan dibakar. Tidak terkecuali, dirinya sendiri yang mewah dengan keindahannya, dan yang benar-benar membuatnya indah adalah suasananya, yang mana tidak ada kehangatan selembut itu di saat fajar menyingsing atau saat matahari berada di atas kepala kita.

Baca : 8 Cara Hidup Lebih Bijaksana

Betapa pentingnya menjadi bijaksana

Selepas ia berpesan, ia mengingat kan kepadaku lagi bahwa ada banyak hal yang bersifat sementara di muka bumi ini. Oleh karena itu, fokuslah pada hal-hal yang membuat diri (kita) bertumbuh secara kualitas setiap hari. 

Sesi ceramah itu berakhir dan saya melihat beberapa hal sebagai sisa-sisa perjalanan yang berdebu dan kusam:

Bahwa saya (kita) selalu bertanya; kenapa harus saya, saat kita berada di persimpangan kumuh jalan; kenapa harus saya, saat kita tersesat di tengah-tengah kota (kenyataan); kenapa harus saya, saat menelan pill pahit kehidupan; kenapa harus saya, saat semua yang tidak kita harapkan sontak menyapa kita.

Bahwa begitu sulit, bahkan seringkali kita tidak berani mengakui kekeliruan: Bahwa tidak mudah mengatakan ‘saya’ tak mampu; Bahwa betapa berat berkata sejujur-jujurnya; Bahwa betapa seringnya kita ngotot, padahal sekeping pun kebenaran tak kita miliki. Bahwa kita selalu lebih baik dari orang lain; Bahwa selumbar di mata teman lebih mudah kita lihat daripada balok di mata sendiri.

Akhirnya kita lupa, dan tak sempat bertanya:

Kenapa harus saya, yang ada di sini; pada posisi ini; pada jabatan ini. Kenapa harus saya, yang berdiri di depan dan menunjukan arah; padahal masih ada yang lain, yang lebih mumpuni. Kenapa harus saya, yang didengar; dimengerti; diberi perhatian; tolong; dimaafkan. Kenapa harus saya, yang merepotkan; menyusahkan. Kenapa harus saya, yang menebar kebencian; memupuk isu kotor itu.

Bahwa saya (kita) perlu bertanya, meskipun sudah paruh perjalanan atau berada di akhir hari. Pertama dan terutama adalah bertanya kepada diri sendiri. Bertanya tentang makna hidup, tentang mengapa kita ada, tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kebaikan banyak orang. 

Sebab dengan bertanya, kita memperoleh jawaban. Pada diri sendiri (pertanyaan) dan untuk diri sendiri (jawaban). Dengan bertanya, seluruh hidup kita menjadi lebih tenang!

Baca : Tujuan Hidup Manusa: Antara Memiliki dan Menjadi

Hari mulai malam, saya berjalan lagi (pulang) dengan perasaan lebih tenang.

Jalan menuju kebijaksanaan

Saya lagi

Sebagaimana waktu, Hidup adalah perjalanan. Oleh karenanya, saya terus berjalan. Ayunan langkah kaki makin kesana semakin berat. Sungguh, langka kaki tak seringan laju angin. Laksana kapas, bahkan dalam medan yang miring pun ia tampak berat untuk bergeser.

Saya berjalan lebih tenang?

Adakah ketenangan dalam langkah yang enggan itu?

Berat, pelan dan pilu. Tidak!, saya masih ada di dalam ‘selalu’:

Bahwa dalam kesempatan, kesediaan, kegirangan; saya lagi. Bahwa dalam ketenangan, kenyamanan; saya lagi. Bahwa dihargai, dilayani, disegani, saya lagi. Saya lagi, yang kesana atau kesini; untuk hal itu atau hal ini. Saya lagi, yang memulai, mengakhiri. Dan untuk segala sesuatu; yang penting, yang nyaman, yang tentang kehormatan – pujian, saya lagi.

 

Inilah wajah saya (kita):

Kita selalu ingin didepan, dihormati, disegani; Kita selalu tampak lebih (lagi).

Kita ini siapa sesungguhnya! 

Mengapa selalu saya? 

Saya ini Dewa? 

Yang selalu dimana-mana?

 

Ahh! kalau saya memang Dewa, mengapa ada dorongan dari dalam diri – “saya lagi”. Sebab Dewa ialah yang awal sekaligus yang akhir didalam segala sesuatu itu. Ia tak menginginkan apa-apa selain menjadi Diri Sendiri (Dewa). Menjadi Dewa telah cukup bagi-NYA.

Saya ini, rupa-rupanya:

Mendambakan pengagungan yang bukan ‘saya’ atas keakuanku. Karena saya begitu mendamba, saya lagi; di depan, disana, disitu, di posisi ini atau itu, pada kesempatan ini atau itu; yang memulai dan yang mengakhiri; yang menunjuk dan ditunjuk; saya hidup di dalam ke-selalu-an.

Tidak heran saya menjadi makhluk yang tersudut di tengah-tengah kota (kenyataan). Saya menjadi individualis!

Ironisnya, tak ada dorongan di dalam diri saya untuk bertanya; mengapa saya lagi, yang individualis?

Bung Jhon

Author Bung Jhon

Saya adalah yang paling tahu siapa saya bahwa saya banyak tidak tahu.Sepanjang hidup, saya senang berfikir dan berefleksi di samping membaca. Anda tahu? saya menulis kemarin, minggu lalu, sebulan yang lalu dan setahun yang lalu; Saya baca hari ini: kini, saat ini, sekarang dan saya malu sekali. Saya malu karena tulisan saya datar, dan dangkal sekali maknanya.Saya tersadar: Bahwa menulis adalah seni mengungkapkan kebodohan.

More posts by Bung Jhon

Join the discussion 2 Comments

  • Yudi Kurniawan says:

    Setelah membaca ini semakin sadar pula saya memang perlu belajar lebih banyak lagi…hehe

    • Avatar Bung Jhon says:

      Apa itu sadar dan apa lagi semakin sadar?
      Sadar berarti tergerak melakukan sesuatu.

      Kalau selama ini hanya tahu bahwa belajar itu penting tetapi tidak melakukannya itu berarti selama itu kita belum disebut sebagai orang-orang yang sadar!

      Semangat dinda!

Leave a Reply