Dunia ini bukanlah dunia para malaikat, melainkan dunianya banyak sudut, dimana manusia membicarakan prinsip-prinsip moral namun beraksi menurut prinsip-prinsip kekuasaan; dunia dimana kita selau bermoral sedangkan musuh-musuh kita selalu tak bermoral. Rules For Radicals, Saul D. Alinsky, 1909-1972, dikutip dari buku 33 Strategi Perang.
Memang, dunia ini selalu tampil dengan realitas yang bersudut-sudut. Sudut-sudut realitas itu dibentuk oleh benturan perspektif dan paradigma. Perspektif manusia sedemikian itu oleh karenanya berlain-lainan. Akan tetapi paradigma, sebagai manusia yang dikarunia akal budi, baiklah tiap-tiap orang menyadari bahwa paradigma selalu bersandar pada suatu bangunan nilai dan norma.
Paradigma manusia yang hidup di dunia yang bersudut-sudut itu haruslah disadarinya sebagai kesadaran utuh bahwa dunia manusia merupakan dunia yang berkeadaban: suatu sudut dunia yang penuh nilai dan norma, akal budi, perspektif sehat dan bersih tentang dinamika manusia; pandangan lurus tentang kesejatian manusia yang mendunia di dalam sudut-sudut itu. Harusnya begitu.
Sudut-sudut itu ada; hidup seiring sejalan dengan langkah manusia yang mengukir peradabannya. Seperti siang berganti malam: malam berujung pagi, pagi diakhiri malam. Itulah hari. Manusia menghidupi dunia itu seperti melalui hari.
Dalam memandang sesuatu – sambil menjalani suatu perjalanan, manusia kadang menjadi malam, juga menjadi siang. Manusia kadang berjalan dari gelap menuju terang, dan kadang ada juga yang datang dari terang menjemput gelap; siapakah gerangan kita yang sedang berdinamika dalam kehidupan kita? Menjadi apa dan bagaimana? Berangkat dari mana dan kemana? Siapakah gerangan kita ini? Entahkah keberadaan dan kebagaimanaan kita di dunia bersudut paradigma ataukah bersudut-sudut?
Dunia bersudut-sudut adalah dunia yang diliputi prinsip-prinsip kekuasaan, suatu dunia yang dihidupi dan digerakkan oleh keadaan diri yang tak terkontrol oleh budi manusia atau lebih parahnya suatu dunia yang kehilangan kemanusiaan manusianya (baca Jala Kemanusiaan).
Politik adalah transformasi nilai
Politik sebagai transformasi nilai merupakan sintesa dari dunia yang bersudut politik kekuasaan dan dunia yang kehilangan kemanusiaan manusia. Politik kekuasaan hidup seatap dengan prinsip-prinsip membenarkan segala cara, dan jika bisa menghalangi lawan yang tidak seatap dengan kepentingan, kenapa harus memberi kesempatan?
Politik kekuasaan oleh karenanya menggugurkan kemurnian nilai-nilai moral. Kalau pun begitu, bagi orang-orang yang hidup dari sudut dunia yang demikian tidak akan segan-segan mengatakan bahwa perjuangan orang lain dalam suatu perjalanan politik yang sama-sama dilalui adalah musuh-musuh tak bermoral. Demikianlah “perang suci” sebagai landasan perjuangan itu lalu dikumandangkan hingga terlupa bahwa moral sendiri pun sedang bermasalah.
Dalam pengertian lain yang hadir sebagai antitesa dari politik kekuasaan yaitu sudut dunia yang kehilangan kemanusiaan manusia. Kemanusiaan manusia yang hilang merupakan puncak dari tidak adanya sadar atas kesadaran sebagai manusia; hal ini menjadi titik tolak perjalanan pulang dari menjadi manusia menuju dunia binatang.
Untuk mengerti dunia binatang itu, kita bisa mengamati aktivitas binatang. Anjing misalnya, merupakan binatang serakah. Karena begitu serakah, induk anjing bahkan tidak sudi membagikan tulang ikan kepada anak-anaknya; meskipun hanya tulang ikan – apalagi satu potong ikan.
Tidak hanya itu, jika boleh Induk Anjing itu bahkan bisa merebut yang menjadi hak milik anak-anaknya. Oh iya, dunia para anjing tak mengenal hak milik apa lagi moralitas dan hal fundamen lainnya. Lain hal jika kita menyaksikan anjing-anjing yang sedikit mengenal ‘moral’ sebagai nilai turunan yang diterimanya sebagai didikan tuannya. Anjing jenis itu ialah anjing yang manusia. Adakah anjing yang manusia?
Refleksi atas realitas dunia yang demikian semrawut dengan dinamika yang tak memajukan dan atau tak memurnikan sudut pandang ini; kita membutuhkan suatu bangunan dunia yang sederhana dengan nilai-nilai yang tak bersentuhan dengan materi, kekuasaan, dan lapar penghargaan.
Politik nilai adalah etika menata keadaan hidup (manusia, ruang dan waktu) yang kacau balau dan tidak terarah. Bangunan politik semacam itu terbentuk dari serpihan nilai-nilai dan norma yang disadari oleh manusia sebagai puncak kearifannya.
Politik nilai menjadi jawaban atas perenungan tentang percakapan dari orang perorangan yang dilalui melalui warung kopi hingga ruang istana. Bahwa politik nilai itu bersentuhan langsung dengan konsolidasi ide dan gagasan tentang apa itu perjuangan dan bagaimana seharusnya kita memperjuangkan sesuatu, kemudian membangun sesuatu itu.
Politik nilai harus sudah membatin sejak dini. Politik nilai memurnikan lagi kesejatian paradigma, untuk selanjutnya memberi kesehatan pada perspektif dan kelurusan percakapan dalam tindakan.
Oleh karena itu, orang-orang yang berjuang dengan menjumbuhkan niat dengan kalkulasi perang (politik) di medan perang dalam balutan politik nilai akan tampak seperti matahari; “ketika matahari terbenam di bawah cakrawala, ia meninggalkan berkas cahaya cemerlang yang layak dikenang: kembalinya matahari selalu diinginkan”. Robert Greene, (hal.470) 33 Strategi Perang, 2007.
Akhirnya dalam dunia yang bersudut-sudut itu, semoga roh politik nilai merasuki dan merubah segenap bangunan yang kolot dan berbau busuk bagi kemanusiaan manusia agar kemanusiaan kita sehat dan tidak kotor lagi. Karena sesungguhnya, politik itu bersih dan sehat: orang-orang berpolitik lah yang kotor dan tidak sehat.
Telah terbit di Makassarbicara.com pada awal Januari tahun 2018.