Tujuan hidup berawal dari jawaban atas pertanyaan mengenai arti menjadi manusia.

The Art of Living  berbicara tentang hidup antara memiliki dan menjadi. Mengandung pertanyaan kritis dan reflektif mengenai keutamaan hidup.
Secangkir kopi bersama Erich Fromm
Foto: dokumen pribadi

Pertanyaan tentang tujuan hidup manusia adalah pertanyaan yang seusia dengan sejarah hidup manusia. Bagaimana hidup di antara memiliki dan menjadi sebagai pertanyaan penting untuk umat manusia yang hidup di zaman modern. Kita sadar bahwa ada begitu banyak pertanyaan kritis dan reflektif mengenai keutamaan hidup.

The Art of Living adalah sebuah buku kecil yang berbicara tentang hidup antara memiliki dan menjadi: merupakan kumpulan tulisan, wawancara dan pengajaran beberapa tahun terakhir sebelum Sang Penulis, Erich Fromm wafat.

Tebal 240 halaman, seperti buku terjemahan pada umumnya yang cukup “berat” dicerna otak, buku ini juga mengandung istilah-istilah yang sering kita bunyikan atau dengar setiap hari, tetapi tidak begitu paham secara mendalam makna yang dianut-nya: “seperti memiliki, menjadi, produktivitas atau aktivitas dan lainnya”.

Saya memerlukan waktu kira-kira 30 jam dalam dua minggu untuk menyelesaikan buku ini. Waktu yang cukup panjang untuk buku setebal 240 halaman (Sementara Novel Orang-Orang Biasa karya Andrea Hirata, tebal 255 halaman hanya membutuhkan waktu 3-4 jam saja untuk dituntaskan. Untuk ukuran saya, buku ini berat untuk dipahami.

“Dengan segenap kenyamanan dan kemudahannya, modernitas yang disokong penuh kapitalisme tiada henti merayu manusia untuk hidup menumpuk kepemilikan. Erich Fromm menyebut-nya cara hidup berorientasi “memiliki”. Timbullah keyakinan semu: “aku adalah apa yang ada padaku, aku adalah apa yang kumiliki, aku adalah pekerjaanku, aku adalah status sosialku, aku adalah pemikiranku, dan seterusnya”. Identitas dan kesadaran diri seseorang terletak pada sesuatu diluar dirinya. Akibatnya sungguh memilukan: terasing, terputus dari Sumber, tidak terhubung dengan diri sendiri dan sesama yang didasari ketulusan”.

Pada paragraf pertama sinopsis buku ini, secara jelas menunjukan bahwa modernitas bergerak maju di bawah bayang-bayang kapitalisme. Maka, perilaku manusia modern umumnya berorientasi pada materi,  pengakuan sosial, bahkan yang lebih buruk adalah menjadi penjahat intelektual – kehidupan modern beroperasi di atas takdir yang buruk itu!

Pertanyaan yang paling penting

Jika kita bertanya kepada siapa saja mengenai makna hidup, maka akan ada jawaban berdasarkan klasifikasi pengetahuan dan kelas sosial. Kemudian kita melanjutkan pertanyaan bahwa apakah mereka mengetahui apa yang harus mereka lakukan sebagai bentuk pemaknaan terhadap hidup maka kebanyakan orang akan mengatakan mereka mengetahui apa yang harus mereka lakukan.

Semenjak kelahirannya, manusia telah mulai dihadapkan pada sebuah pertanyaan yang harus coba dicari jawabannya sepanjang hayat, yaitu pertanyaan menyangkut arti menjadi seorang manusia. Pertanyaan ini tidaklah penting bagi manusia modern yang umumnya berorientasi pada materi,  pengakuan sosial, bahkan yang lebih buruk adalah menjadi penjahat intelektual, walau bagaimanapun mereka mengetahui seluas-luasnya makna hidup itu. 

Pertanyaan tersebut bukan hanya tidak penting, tetapi sama sekali tidak disadarinya. Karena orientasi hidup manusia modern seperti di atas, telah terpuaskan oleh segenap apa saja yang ditawarkan kepadanya yaitu konsumsi, gaya hidup mewah, rebahan.

Bahwa kesenjangan sosial yang sejauh ini kita alami merupakan imbas dari modernitas yang digerakan oleh kapitalisme. Padahal sebetulnya semua orang tahu makna hidup, mengapa mereka terlahir di dunia ini, bagaimana mereka harus hidup berdasarkan ukuran moral tertentu. Yang pertama dan terutama sebagai masalah adalah kurangnya kesadaran akan pengetahuan; “Banyak orang mengetahui makna hidup masing-masing dan mereka tahu harus melakukan sesuatu untuk menunjukkan-nya – akan tetapi kesadaran tidak bersemayam disana. Sehingga pengetahuan tersebut menjadi kehilangan roh atau energi yang menggerakan nya. 

Oleh karena itu, setiap kita yang mencoba bersikap terbuka dan telanjang di hadapan pertanyaan besar itu, kita menjadi berusaha memberi jawaban terhadap pertanyaan tersebut tidak sebagai jawaban semata-mata yang merupakan jawaban intelektual, tetapi lebih merupakan jawaban dari keseluruhan pribadi.

Qoute tentang seni kehidupan

Suatu catatan kritis

Buku ini, tidak hanya memungkinkan pembaca untuk secara konseptual memahami serta mendiagnosis apa yang sesungguhnya terjadi dalam diri mereka masing-masing, tetapi, pada waktu yang sama, ia juga merupakan pedoman yang baik untuk mengubah kehidupan.

Membaca buku ini akan membawa kita pada titik dimana kita mencoba mengkritisi orientasi hidup kita di dunia ini: bekerja keras yang menuju MEMILIKI; mengumpulkan  tepuk tangan, apresiasi dan  upaya menjadi superior ataukah bekerja keras menuju hidup yang MENJADI: setiap hembusan nafas memberikan hidup pada apapun yang mereka sentuh – seperti sungai yang mengalir – selalu ada kehidupan di setiap sisi sungai.

Hidup, oleh karenanya tidak selalu butuh tepuk tangan, juga tidak harus menutup muka karena kehilangan perkenanan orang lain. Berhadap-hadapan dengan roman muka orang dengan rupa-rupa yang tak menentu stabil, tampak meninggi dan kadang superior, sama sekali tidak boleh menyuburkan perasaan inferior!

Walaupun kita tahu bahwa situasi seperti di atas sungguh sulit dihindari. Untuk itulah Erich Fromm mengingatkan untuk tidak larut dalam kebisingan dan kesibukan. Sebab, harga kita tidak ditentukan oleh apa yang kita miliki dan capai dalam hidup ini, tetapi pada diri dan hidup itu sendiri sebagai sebuah proses menjadi.

Jadi, apakah yang kucari dalam hidupku? Pertanyaan inilah yang membawa kita untuk mundur sejenak, rehat dan mulai hening dari rutinitas mengumpulkan tepuk tangan, apresiasi dan upaya menjadi superior.

MENGAJUKAN PERTANYAAN SEBAGAI INTERUPSI ATAS LANGKAH KAKI YANG KELUAR DARI KEUTAMAAN HIDUP
Bung Jhon

Author Bung Jhon

Saya adalah yang paling tahu siapa saya bahwa saya banyak tidak tahu. Sepanjang hidup, saya senang berfikir dan berefleksi di samping membaca. Anda tahu? saya menulis kemarin, minggu lalu, sebulan yang lalu dan setahun yang lalu; Saya baca hari ini: kini, saat ini, sekarang dan saya malu sekali. Saya malu karena tulisan saya datar, dan dangkal sekali maknanya. Saya tersadar: Bahwa menulis adalah seni mengungkapkan kebodohan.

More posts by Bung Jhon

Leave a Reply