Pengalaman Digital Detox: 7 Hari Tanpa Media Sosial, Apa yang Saya Rasakan?
Kamu merasa dunia digital seperti ruangan bising yang tidak pernah benar-benar sunyi? Notifikasi berdatangan, konten terus bergulir tanpa henti, dan kita—tanpa sadar—terjebak dalam rutinitas scroll-scroll tanpa tujuan. Di tengah riuhnya dunia maya itu, saya mencoba melakukan digital detox selama satu minggu. Hasilnya? Menyegarkan sekaligus membuka mata.
Apa Itu Digital Detox?
Digital detox adalah keputusan sadar untuk berhenti sementara dari penggunaan perangkat digital—terutama media sosial, smartphone, dan internet—guna memulihkan fokus, menyeimbangkan kembali kehidupan digital dan nyata, serta menjaga kesehatan mental. Bukan berarti anti teknologi, tapi lebih kepada memberi jeda yang sehat dari keterhubungan yang berlebihan.
Latar Belakang: Hidup Saya Tidak Pernah Jauh dari Sosmed
Sejak 2019, saya sangat aktif menggunakan Instagram dan Facebook, terutama karena pekerjaan saya di Gapura Digital & Women Will yang mengharuskan membangun komunitas, memperkuat engagement, dan memperluas jangkauan melalui media sosial. Begitu pula saat saya berpindah peran sebagai Community Manager di Mapan pada 2022, di mana proses engagement dilakukan secara masif, termasuk mengikuti akun mitra dan berinteraksi di platform yang mereka gemari.
Media sosial bagi saya bukan hanya tempat berbagi—ia juga merupakan ‘ruang kerja’. Tapi di minggu kedua April 2023, saya memutuskan untuk menonaktifkan sementara akun sosial media saya. Saya ingin tahu: apa yang terjadi jika saya berhenti sejenak dari kebiasaan ini? Apa yang berubah?
Hari-Hari Tanpa Sosmed: Plong, tapi Janggal
Hari pertama tanpa media sosial? Rasanya janggal. Tangan ini refleks ingin membuka aplikasi, padahal sudah dihapus. Saya juga merasa agak “ketinggalan info” karena tidak bisa mengakses kabar real-time dari akun-akun berita. Namun keesokan harinya, saya menemukan solusi dengan berlangganan berita via email.
Beberapa hari berikutnya, rasa plong itu mulai muncul. Ada ruang di kepala yang terasa lebih lega. Tidak mudah memang, karena saya seperti memaksa diri untuk mengubah kebiasaan lama yang sudah tertanam bertahun-tahun. Tapi nyatanya: tidak mustahil.
Bukan “Kenapa”, Tapi “Bagaimana”
Tujuan dari digital detox ini bukan untuk mempertanyakan kenapa kita terbiasa dengan sosial media, melainkan bagaimana kita bisa mengubahnya. Dalam bukunya The Power of Habit, Charles Duhigg menjelaskan bahwa kebiasaan terbentuk dari tiga elemen:
Cue (Pemicu) – Rasa bosan, notifikasi, atau keinginan untuk merasa terhubung.
Routine (Rutinitas) – Buka aplikasi, scroll-scroll, hilang waktu sejam.
Reward (Hadiah) – Sensasi menyenangkan dari like, komentar, atau sekadar hiburan.
Kalau kita ingin berubah, maka rutinitas itu harus diganti dengan aktivitas baru yang memberi reward sejenis. Dalam kasus saya, waktu yang biasanya dipakai scrolling saya alihkan untuk ikut kursus online dan membaca buku. Hasilnya sangat berbeda.
Efek Tak Terduga dari Detox Sosial Media
Yang paling terasa adalah meningkatnya kualitas waktu. Tanpa sosial media, saya jadi lebih produktif, lebih tenang, dan lebih hadir dalam interaksi sehari-hari. Saya juga punya waktu lebih banyak untuk menulis, membaca, olahraga dan yang paling penting: berpikir secara sadar.
Tapi ada juga efek samping yang lucu. Setelah beberapa hari menghilang, beberapa teman mengirim pesan:
“Loh Bung, kamu blokir aku di IG/FB ya? Aku salah apa nih?” 😆
Saya jawab apa coba? Hahaha. Ternyata detox sosmed juga bisa bikin orang salah paham.
Apakah Digital Detox Layak Dicoba?
Kalau kamu bertanya, “Apakah digital detox itu perlu?”, maka jawaban saya: Layak dicoba, setidaknya sekali. Detox ini adalah bentuk kontrol diri—untuk tahu sejauh mana media sosial memengaruhi kita dan seberapa sadar kita menggunakan waktu.
Pertanyaannya bukan cuma “berapa jam saya online?”, tapi juga:
Apakah saya masih mengendalikan waktu saya, atau saya yang dikendalikan oleh notifikasi dan algoritma?
Apakah saya benar-benar hadir dalam hidup ini, atau hanya tampil di balik layar untuk dikonsumsi orang lain?
Pesan untuk Kamu: Waktu Hening Itu Penting
Setelah seminggu tanpa media sosial, saya sadar satu hal: hening itu sehat. Di dunia yang makin sibuk dan bising, kita perlu ruang untuk bernapas, merenung, dan mendengar kembali suara hati sendiri.
Digital detox bukan solusi permanen, tapi bisa menjadi praktik berkala untuk menjaga kewarasan dan kepekaan. Dunia digital akan terus bergerak cepat, tapi kita tetap punya hak untuk melambat, merenung, dan menyadari siapa diri kita di luar semua notifikasi itu.
Kamu sudah pernah mencoba digital detox? Apa tantangan terbesarnya buat kamu?
Silakan berbagi di kolom komentar ya.