Saya banyak tidak tahu. Pikir baik baik!

Kenalilah dirimu sendiri

Kita perlu melakukan proses hadap diri. Hadap-hadapan dengan diri ini adalah sikap yang harus disengaja, pilihan sadar atas kesadaran itu sendiri.

Kenalilah Dirimu Sendiri

Saya adalah yang paling tahu siapa saya, bahwa saya banyak tidak tahu

Kenalilah dirimu sendiri. Barang siapa mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya. Teruslah belajar dan mencari tahu. Tidak ada pencapaian yang paling mulia sebagai manusia dalam perjalanan hidup ini selain mengenal dirinya sendiri. 

Betapa pun mengenal diri sendiri tidak mudah, bahkan orang-orang yang hari ini mewakafkan diri mereka sebagai pembelajar; pencinta kebijaksanaan, alih-alih tetap berupaya melakukannya sepanjang hidup. Lalu, bagaimana saya dan Anda, pengunjung setia blog ini?

Saya banyak tidak tahu 

‘Saya banyak tidak tahu,’ barangkali merupakan pernyataan yang asing. Atau Anda dekat dengan pernyataan tersebut dan memaknai sejauh pengalaman dan pengetahuan, saya tidak tahu! Inilah yang merupakan bagian dari betapa ‘saya banyak tidak tahu’ itu.

Banyak tidak tahu merupakan suatu kesadaran, yang saya alami dan sadari bahwa ada banyak hal yang tidak diketahui. Betapa pun saya berusaha mencari tahu sepanjang hidup. Yang banyak itu ada, dan saya tidak ketahui, sebagai puncak kesadaran saya selama proses mencari tahu, alih-alih berusaha menyadarinya setiap saat. 

Saya peragu! Umumnya, keraguan mencabik-cabik kesadaran yang tertidur, dan saya tidak ragu bahwa itu penting. Pengetahuan dan kepercayaan akan suatu hal selalu didahului oleh keraguan.

Betapapun bagaimana tingkatan pengeahuan, kepercayaan dan pengalaman itu, keraguan yang rasional memungkinan pemiliknya untuk membuka ruang dialog yang taat dalam kesadaran, ini memungkinkan manusia mengerti suatu hakikat kesadaran akan keterbatasan.

Di sini berlaku salah satu ciri berfilsafat yang saya kagumi. Bahkan kekaguman saya pun tidak lepas dari kekhasan ciri berfilsafat. 

Semakin kesini, semakin saya menyadari betapa saya banyak tidak tahu. Tulisan-tulisan yang lampau misalnya, banyak menjadi percikan cahaya yang menyadarkan bahwa, ya saya banyak tidak tahu.

Dahulu saya nyalakan lilin kecil (catatan, tulisan dan renungan masa lalu), waktu itu saya mengira sedang menyalakan lentera. Baru minggu kemarin saya sadar bahwa ternyata hanya sebatang lilin kecil. Saya nyalakan pelita.

Di sini, kini, saya sadar kembali bahwa ternyata pelita itu saya letakan di bawah meja, sangat menyedihkan bahwa banyak ruang diri yang masih gelap. 

Banyak tidak tahu adalah mengenai pengetahuan semesta. Sedangkan pengetahuan saya sebesar atom di dalam kotaknya yang terbatas. Banyak tidak tahu adalah perihal terangnya matahari. Sementara saya adalah lilin kecil yang menyala di bawah meja pada siang hari.

Banyak tidak tahu adalah seperti lampu-lampu istana yang tidak memberi ruang pada gelap sedikitpun. Sementara saya ada disana dan menyalakan senter smartphone saya.

Walaupun begitu, cahaya lilin kecil itu sedikit berguna di dalam kamar kos saya. Saya masih bisa belajar: membaca kembali catatan-catatan masa lalu dengan cahayanya. Ini saya! Kenali lah dirimu sendiri

Bagaimana Anda mengenal diri sendiri?

*    *    *

Siapakah saya?

Masa sekolah yang berat

Autobiografi singkat di bawah ini saya buat untuk setiap orang yang sedang berjuang. Semoga tali sepatu perjuangan Anda kuat terikat dan teruslah melangkah!

Saya menyelesaikan Sekolah Dasar (SD) yang tidak cukup menggembirakan. Di puncak pulau Pantar, desa Kaera, kecamatan Pantar Timur, Kabupaten Alor. Di daerah ini, tidak cukup subur. Lebih banyak diakibatkan oleh tangan-tangan yang membakar padang secara tidak bertanggung jawab.

Saat musim panas tiba, panasnya membakar. Ketika berganti musim hujan, di daerah ini tidak hanya hujan, tapi angin kencang disertai kabut gelap. 

Masa-masa sekolah yang pilu: ada kalanya, ke sekolah hanya untuk membersihkan ruangan kelas yang habis di hantam badai. Selama SD lebih banyak belajar mengenai kerja keras dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

Pasca lulus SD, saya melanjutkan sekolah ke jenjang lanjutan di Kabir, ibu kota kecamatan Pantar. Saya termasuk siswa yang sekolah tanpa ada prestasi. Sama sekali tidak ada prestasi.

Masa-masa belajar di Sekolah Menengah Pertama (SMP N 1 Pantar) lebih beratnya. Selama masa ini, saya mengalami tekanan psikologi sebagai siswa yang bebal. Saya sedikit malu menceritakannya disini. Tapi begitulah kenyataannya. Terbukti, saya tidak lulus Ujian Nasional dan harus mengakhiri semuanya dengan ijazah paket B.

Masa-masa sulit di SMP itu tidak berakhir. Saya mengalami tekanan psikologi yang kuat sejak awal masuk sekolah di jenjang menengah. Saya mendapatkan kelas favorit yaitu, kelas C. Anda pasti paham kelas C itu apa dan saya layak ada disana.

Tidak seperti anak sekolah pada umumnya. Saya selalu nyontek. Selalu ada tulisan di paha saya, atau di potongan kertas dan duduk di sudut belakang ruangan kelas. Sungguh memilukan masa-masa itu. 

Situasi menjadi berubah setelah saya dinyatakan juara satu lomba penulisan puisi pada ajang Bulan Bahasa. Walaupun sebenarnya saya tidak kaget dengan prestasi itu, tapi situasi saat itu menekuk kesadaran saya untuk keluar dari zona bebal.

Saya sadar bahwa ada potensi untuk menjadi lebih baik. Bahwa alasan mengapa tidak kaget, karena setahun belakangan pada saat itu, ada banyak surat cinta yang sudah saya tulis. Maka, menulis puisi bagi saya adalah aktivitas biasa.

Setelah lomba itu, saya menjadi lebih sering berkunjung ke perpustakaan sekolah. Disanalah saya belajar sedikit lebih banyak mengenai Bung Karno dan gurunya, Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto.

***

Pada suatu pagi, kepala sekolah menemui saya di ruangan kelas lalu meminta saya untuk masuk jurusan bahasa. Budaya nyontek mulai terkikis seturut dengan kebiasaan membaca di perpustakaan dan buku-buku catatan sekolah yang perlahan rapi. Disaat-saat itulah saya menyadari bahwa sekolah itu menyenangkan kalau belajar dengan giat.

Apa maksudnya belajar dengan giat? selalu sisihkan waktu untuk membaca buku apa saja, yang penting membaca dulu. 

Masa putih abu saya akhiri dengan luar biasa, menyenangkan; selain guru-guru yang membimbing pada dua tahun terakhir masa sekolah, teman-teman kelas yang super bersahabat dan yang pasti disana ada seorang gadis manis yang sabar, baik hati dan penyayang. 

Fase hidup yang menyenangkan

Pada tahun 2011 saya meninggalkan kampung setelah menuntaskan sekolah. Saya berlayar ke Makassar di tahun yang sama. Adalah panggilan kehidupan ketika saya memutuskan untuk melanjutkan studi di Makassar.

Di Makassar, atmosfer belajar dan dinamika organisasi cukup baik. Bulan pertama kuliah, saya langsung masuk dua organisasi ekstra kampus. Hingga di semester ke-7 saya memperoleh mandat dari kawan-kawan untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan Senat Mahasiswa.

           Baca :  Riwayat singkat organisasi dan pekerjaan

Saya menyadari, tidak ada fase kehidupan yang paling “menyenangkan” daripada fase dimana seseorang menjadi mahasiswa. Menurut saya, kuliah itu menyenangkan dan saya ingin mengulangi-nya jika ada kesempatan.

Jika ada pertanyaan untuk saya, “Bung… jika engkau mendapatkan kesempatan mengulangi fase kehidupan yang telah dilewati, yang mana fase kehidupan yang akan engkau pilih?”; “Menjadi Mahasiswa.”

Terbentur: proses mengenal diri sendiri

Saya selesai studi pada akhir 2015. Periode 2015 – 2017 saya mendapat kepercayaan menjadi pengurus Cabang Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Makassar.

Selama kuliah, saya terlibat dalam organisasi intra maupun ekstra kampus; mendorong pendidikan kader berjalan maksimal, melatih kemampuan public speaking, meningkatkan kemampuan mengorganisir kegiatan, mempelajari manajemen konflik, melakukan aksi massa, mengikuti kelas-kelas kepemimpinan hingga mengolah kemampuan manajerial.

Empat bulan sebelum masa bakti di cabang berakhir, saya mendapatkan pekerjaan pertama yang saya jalani hingga saat ini. Pekerjaan pertama ini saya dapatkan setelah melayangkan 32 surat lamaran (berkat relasi dan sedikit keberuntungan), selengkapnya di profil Linkedin.

Baca: Portfolio

Organisasi adalah tempat penempaan diri

Ada tiga standar nilai yang harus ditempuh oleh orang-orang (mahasiswa) yang ingin masuk organisasi. Standar nilai itu menjadi uji kelayakan bagi setiap pelaku organisasi atau organisatoris.

Pertama, standar spiritualitas untuk organisasi keagamaan dan kearifan lokal untuk organisasi kedaerahan. Untuk menempuh standar nilai di maksud, maka organisasi mau atau tidak mau, suka atau tidak suka harus menjadi wadah pembelajaran spiritual atau kearifan lokal.

Pada intinya, organisasi harus menjadi tempat ‘suci’ yang menempah orang menjadi lebih sehat secara rohani dan berbudaya.

Kedua, intelektualitas. Organisasi adalah tempat penempaan diri. Mahasiswa, sadar atau tidak sadar adalah kelompok masyarakat intelektual dan menjadi kaum elit diantara pemuda. Mengapa disebut sebagai masyarakat intelektual dan kelompok elit tidak lain karena mahasiswa dalam pengertiannya secara definisi adalah orang terpelajar dan jumlah mahasiswa itu lebih sedikit dari total pemuda Indonesia.

Maka, sebagai mahasiswa yang menjadi bagian dari suatu organisasi, alih-alih harus penuhi standar intelektual. Minimal bisa bersikap kritis terhadap diri sendiri yang tidak giat belajar dan mematikan fungsi-nya sebagai mahasiswa.

Ketiga, standar sosialisasi tidak hanya sebagai kritik atas mahasiswa yang empunya 4 K (kos, kampus, kantin, kampung) melainkan sebagai nilai yang harus dipenuhi, yang mana sebagai masyarakat intelektual yang telah terbuka pikirannya punya tanggung jawab moral untuk mempertalikan percikan-percikan kebijaksanaan kepada lingkungan sosialnya.

Yang maha penting dari kesadaran standar sosial adalah terbuka terhadap lingkungannya dan menerima bahwa hubungan antar manusia harus dibangun, dibentuk dan terus membinanya. 

Hubungan sosial secara khusus dalam bahasa organisasi kita sering menyebutnya sebagai networking. Seorang mahasiswa minimal 4 tahun kuliah, harusnya bisa memiliki sekurang-kurangnya 1000 – 2000 orang yang menjadi jaringannya: teman angkatan, senior dan junior  (ini adalah pengalaman pribadi).

Dunia kerja: relasi dan sedikit keberuntungan

Pertanyaannya: bagaimana standar nilai di atas bekerja untuk karir?

Umumnya, seseorang setelah kuliah akan bersedia untuk kerja, dimana saja, di instansi apa saja. Intinya kerja. Dalam masa ini, umumnya juga mahasiswa belum mengetahui dengan pasti minat, bakat dan apalagi passion mereka.

Walaupun ada kasus dimana beberapa orang yang aktif di UKM Seni atau Olahraga (meski bukan dari jurusan itu) bisa memastikan passion mereka di dunia kerja. Banyak diantaranya menganggur, alias sulit mendapatkan pekerjaan.

Lalu, apa gunanya bagian ketiga dari standar nilai di atas?

Mari kita perhatikan. Kita hidup dalam lingkaran sosial dan memiliki jaringan yang luas. Akan tetapi, apakah lingkaran sosial dan jaringan yang luas membentuk relasi yang kuat antar sesama? TIDAK!

Relasi yang kuat hanya berdiri kokoh di atas pengenalan dan penerimaan sebagai sesama!

Maka, dari luasnya jaringannya yang kita punya saat ini, perlu untuk membangun relasi. Relasi dibangun di atas penerimaan dan pengenalan. Tidak asal tahu saja alih-alih itu senior atau junior, kita harus membangun suatu hubungan yang terbuka, saling menerima dan mengenal secara baik kualitas masing-masing. 

Networking dapat memudahkan urusan-urusan kita dan memudahkan kita untuk pergi jauh. Relasi dapat mendekatkan kita dengan nasib baik dan menunjukan dimana letak kesuksesan.

Apa maksudnya sedikit keberuntungan?

Pertama, Saat ini, mungkin saja ada pekerjaan yang layak untuk kita. Disebut layak ini berhubungan dengan skill kita. Tapi karena tidak ada relasi disana, akhirnya kesempatan itu tidak berpihak kepada kita. 

Kedua, relasi membawa kita duduk semeja bersama recruiter, tapi Tuhan tidak menghendaki kita untuk bekerja di tempat tersebut. Dalam dunia kerja, yang paling dibutuhkan pertama-tama adalah relasi dan sedikit keberuntungan. 

Prinsip saya; tidak ada prinsip

Saya senang mendengarkan orang lain dan masih terus berlatih hingga saat ini. Dan untuk sesuatu yang membuat saya harus marah, saya akan marah habis-habisan tapi langsung selesai sebelum matahari terbenam. Saya tidak mengingatnya lagi.

Keluarga adalah lilin-lilin kecil yang tak pernah padam

Bapak ibu saya tidak tamat Sekolah Dasar. Keluarga penerima bantuan sosial pemerintah atau Program Keluarga Harapan. Bapak saya merantau ke Kalimantan Selatan dan kerja di kebun sawit selama 15 tahun. Setelah saya lulus kuliah, saya minta bapak untuk berhenti kerja dan kembali ke kampung. Keseharian mereka adalah petani dengan pendapatan yang tidak seberapa sebagaimana warga NTT pada umumnya.

Sebagai panggilan kehidupan, jalan panjang yang saya lalui teramat dalam jurang dan tebing yang gersang. Dalam dunia kerja kini, betapa sehatnya buah dari proses penemuan diri kala itu.

Belajar Sepanjang Hayat. Kerja adalah Belajar.