Cinta: Suatu Dialog
bagian dua
“Langit…”
Suara lembut Dauni menggetarkan imajinasi Langit yang sedang melayang jauh mengelilingi semesta. Kopi yang dibuat dengan keringatnya sendiri itu sudah mengakar di pikirannya. Beberapa bulir ampas kopi mengotori bibir cangkir, menambah kesan seksi bagi siapa pun yang mencintai hal-hal abstrak.
“Bisakah sekali waktu, engkau tidak menggangguku, Dauni?” pinta Langit dengan nada bercanda namun serius.
“Mengganggu yang bagaimana, Langit?”
“Tidak baikkah aku, orang selembut ini, membangunkan imajinasi sang Langit yang melangit? Aku tidak menolak, tapi aku mencintai pikiran-pikiranmu yang membumi.”
“Sepagi ini, hal indah apa yang engkau temui dalam imajinasimu, Langit?” goda Dauni.
“Menurutmu, apa itu ‘bagaimana’, Dauni?” Langit membalas dengan pertanyaan balik. “Jika saya bertanya, bagaimana sesuatu itu terjadi, atau bagaimana engkau melakukannya, atau seperti pertanyaanmu tadi: ‘Mengganggu yang bagaimana, Langit?’”
“Bagaimana yaaah?”
“Nah, itulah maksudku. Bagaimana?” pinta Langit, mengajak Dauni mengurai.
“Bagaimana yang bagaimana maksudmu, Langit?” tanya Dauni bingung.
“Lanjutkan saja, bagaimana yaaah… atau dengan frasa lain, sejauh pikiranmu menjangkaunya.”
“Setiap orang yang sadar mengajukan pertanyaan ‘bagaimana’ sesungguhnya mengimajinasikan berbagai pengandaian tentang cara atau proses sesuatu yang menjadi fokus pertanyaannya,” jawab Dauni.
“Bagaimana saya bisa memahami penjelasan itu secara sederhana, Dauni?” tanya Langit.
“Sesuatu yang sederhana hanyalah milik mereka yang tidak menggunakan kekuatan pikiran untuk bernalar. Pikiran mereka hanya fokus memuaskan diri sendiri,” jelas Dauni.
“Pikiran kita tak boleh dimanjakan. Sejak dulu, pikiran kita sudah terpola oleh kebiasaan, sistem nilai budaya, pendidikan keluarga, bahkan oleh gereja. Kita lahir di keluarga dan daerah yang terbelakang. Maka, pikiran kita cenderung membelakangi realitas, imajinasi, dan kesadaran akan kekuatan pikirannya,” tambahnya.
Mereka saling mengangguk setuju.
“Langit, sejauh ini, apa yang kita sadari sebagai kesadaran hidup?” tanya Dauni.
“Bukan mudah menerima penjelasan soal hubungan, sebagaimana percakapan kita dulu. Dalam usaha memahami inti dialog, terjadi penalaran, upaya menghubungkan pikiran dengan realitas. Di situ jawaban atas pertanyaan ‘bagaimana’ bersemayam,” jawab Langit.
Dauni mencoba memberi penjelasan panjang lebar sesuai yang ia rangkum dari pikirannya. Langit mengubah posisi duduknya di pelataran rumah kayu yang hanya 20 meter dari tebing tandus di bibir pantai timur. Ia menuang kembali sisa kopi yang masih hangat, dan mereka bersulang lagi.
“Dauni, kau tentu tahu bahwa di bawah kolong langit ini, termasuk lingkungan kita yang terbelakang, semua orang tahu pentingnya menjaga hubungan baik dengan sesama, alam, dan Tuhan. Tapi yang kita tahu sebenarnya berbeda, dan itu penting untuk kita sadari sebagai kesadaran,” kata Langit.
“Apa maksudmu, Langit?” tanya Dauni.
“Kita menyaksikan relasi yang rusak di sekitar kita dan di tempat lain. Bagaimana bisa sesuatu yang penting untuk dijaga bisa seburuk itu? Orang-orang hanya sampai pada level pengetahuan pentingnya menjaga hubungan, tapi belum sampai pada level kesadaran untuk benar-benar melakukannya,” jawab Langit.
“Bagaimana melakukannya adalah pertanyaan penting dan sulit. Pertama-tama, harus ada kesadaran bahwa relasi menghubungkan kompleksitas pribadi. Batin kita terhubung dalam dinamika emosi, pikiran kita bersatu dalam ruang pemikiran, mata kita memandang hamparan imajinasi, peristiwa, dan kenyataan sehari-hari,” lanjut Langit.
“Kita tahu apa yang aku lihat belum tentu kau lihat pada saat yang sama. Relasi itu terutama menerima bahwa aku melakukannya dengan segenap pribadiku, dan kau juga demikian. Karena kita pernah terlempar keluar dari diri sendiri untuk memanusiakan manusia, jadilah kita manusia. Dan kita mengenal proses itu secara tepat,” tutupnya.
“Jadi, apa maksud percakapan kita ini, Langit?” tanya Dauni tanpa sadar bahwa pertanyaan “apa itu bagaimana” yang diajukan Langit terkait erat dengan pertanyaan tentang arti hubungan di antara mereka.
“Setidaknya, kita perlu tahu bukan hanya ‘apa’-nya, termasuk definisi dan pengertiannya, tapi juga ‘bagaimana’-nya sesuatu itu,” jelas Langit.
“Aku mengerti, hubungan kita berdiri di atas pengenalan dan penerimaan sebagai pribadi, sekaligus menerima sesama sebagai pribadi lain. Setidaknya, kita menyadari diskusi ini sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimana sebaiknya hubungan itu dibangun!” tutup Langit.
Sejam berlalu. Kopi mereka sudah habis. Matahari pagi makin terang. Setangkai mawar yang setia dirawat Dauni mulai mekar menyambut sinar lembut pagi.
Langit menikmati bunga itu, sementara Dauni bangkit setelah membelai mawar dan berpesan bahwa tak ada yang abadi, termasuk kehangatan fajar pagi. Tapi selalu ada waktu untuk menikmati dan mensyukuri apa yang ada, selama itu baik adanya.
“Terima kasih untuk hari ini, Langit. Seperti nasehatmu dulu, sebaik-baiknya perjumpaan adalah yang melahirkan kesadaran baru. Aku selalu merasakannya dalam percakapan kita,” ucap Dauni.
“Belajar itu menyenangkan. Semoga hari ini juga menyenangkan!” sahut Langit sembari tersenyum, saat Dauni meninggalkannya.
Bersambung…