Di Toraja, September 2025


Untuk mereka yang sedang rindu amat dalam:

Dalam masa hidup yang rumit antara 1991 hingga awal 2011, saya tak pernah benar-benar punya cita-cita untuk merantau. Namun takdir menuntun saya menapaki jalan berbeda, mengunjungi Toraja dan ratusan kota lain sejak akhir 2011 hingga kuartal ketiga 2025 ini.

Salah satu keputusan paling penting dalam hidup saya adalah memilih untuk berada di Makassar setelah kuliah dan menapaki tiap labirin hidup dengan segala ujiannya.

Saya pernah berdiri di persimpangan:
Melanjutkan kuliah atau menempuh jalan kecil berbatu dalam karir profesional?
Menenun kisah romantis dan menikah lebih awal, ataukah merayu alam semesta agar merestui ribuan cita-cita?

Hingga semester pertama 2025 berakhir, saya mulai mengerti arti dari pilihan-pilihan itu. Bahwa yang paling penting bukanlah pilihan itu sendiri, melainkan siapa yang saya bawa serta di dalamnya.

Kita bisa memilih untuk tinggal atau pergi, namun yang menentukan makna dari setiap langkah adalah kesadaran: mengapa kita harus pergi atau tetap tinggal, dan bersama siapa perjalanan itu dilalui.

Dalam setiap pilihan itu, saya membawa keluarga. Sebab apa artinya saya tanpa mereka?

Apa artinya sosok bapak dan mama, apa artinya menjadi kakak dan adik?
Apa makna semua itu ketika saya berjalan di jalan berbatu ini?

Mengapa saya ada di sini, sementara mereka ada di sana, dalam sedu sedan, dalam kesendirian, menikmati kopi pagi tanpa suara panggilan saya kepada bapak atau mama, kakak atau adik?

Atau barangkali justru saya yang mendengar panggilan mereka, memanggil saya dengan sebutan yang paling manis: guru.
Panggilan itu sudah saya terima sejak semester pertama dalam studi keguruan.

Dari sana, saya makin mengerti arti rindu dan cara kerjanya.

Jadi, apa artinya merindukan orang lain?

Merindu adalah tanda bahwa keberadaan kita belum lengkap. Kita belum lengkap karena beberapa orang tidak hadir dan membersamai perjalanan kita. Itulah sebabnya kita membutuhkan orang lain.

Namun keluarga bukan sekadar “orang lain” dalam hidup kita. Mereka adalah pecahan diri kita dalam wujud yang lain, yang hadir di sekitar kita. Karena itu, kita tidak pernah benar-benar lengkap tanpa pecahan itu.

Dalam banyak hal yang kita inginkan dalam hidup, yang paling tidak terungkapkan sebagai kerinduan terdalam adalah pulang ke rumah. Kita mungkin ingin sekali bepergian ke lebih dari seribu kota dan bahkan menetap di salah satunya, namun tetap saja kita tidak bisa lepas dari belenggu rindu akan rumah— saat melihat Mama dengan senang hati menyiapkan makanan, atau ketika Bapak memintamu duduk menikmati kopi hangat bersama di teras belakang rumah.

Dan mungkin juga,  ketika kamu memanggil “ibu” atau “ayah” saat kamu membutuhkan mereka, betapapun saat ini kamu menjadi seoang ibu atau ayah—kerinduan itu akan kembali menyeruak, seolah ada pecahan hidup yang selalu menunggumu pulang.

Maka, berbahagialah mereka yang tak pernah merasakan rindu. Tapi bagi kita yang merindu, rindu sudah menjadi teman karib yang diam-diam mendewasakan, mengajari arti keterpisahan, dan menajamkan rasa syukur atas setiap perjumpaan.

Apa pelajarannya?

Pertama, saya tidak sempat menyaksikan bapak dan bama menempuh perjalanan hidup mereka yang semakin jauh. Mereka pun tidak melihat langsung kaki saya yang terantuk, terluka kecil, basah oleh keringat dan air mata di pinggiran jalan yang penuh onak dan duri, dan tak tampak jelas ujungnya.

Di saat yang sama, saya juga tidak lagi melihat kayu bakar penuh bakul dengan talinya yang menukik ke dalam kepala Mama, atau cangkul yang terus diayun oleh Bapak, berpacu dengan hidup di bawah kaki gunung, di kampung halaman nun jauh di seberang.

Namun, saya tetap menemukan kasih sayang mereka, yang hadir dari setiap doa yang tersemat dan kerinduan yang amat dalam ini.

Kedua, saya belajar bahwa merantau bukan sekadar perpindahan tempat, melainkan perpindahan jiwa. Ada yang ditinggalkan, ada yang dibawa, dan ada yang hanya bisa disimpan dalam kenangan. Saya kehilangan kehadiran keluarga sehari-hari, tapi menemukan diri saya sendiri di jalan-jalan asing yang mengajarkan arti kemandirian dan keteguhan hati, memahami bagaimana rindu itu bekerja.

Ketiga, saya memahami bahwa setiap pilihan membawa konsekuensi. Jalan berbatu yang saya tempuh dalam pendidikan, dan relasi, dan karir bukanlah tanda kelemahan atau tantangan yang mematahkan, melainkan bentuk ujian yang menempa. Dari situ saya belajar bahwa keberhasilan bukan datang seketika, melainkan dirajut dari luka, air mata, dan doa yang tak pernah putus.

Keempat, saya mulai mengerti arti keluarga bukan hanya dalam kebersamaan fisik, melainkan dalam doa yang menembus jarak. Bapak, Mama, kakak, dan adik tidak selalu hadir di depan mata, tetapi kehadiran mereka selalu saya rasakan dalam hati, setiap kali saya melangkah lebih jauh.

Kelima, saya belajar bahwa kesendirian bukan musuh bebuyutan dan bukan pula jalan sempit yang tiada ujung, melainkan cermin. Dalam kesendirian saya berjumpa dengan suara hati, dalam sunyi saya menemukan arah, dan dari sana saya bisa lebih jujur melihat siapa diri saya sebenarnya dalam semesta yang amat luas ini.

Keenam, saya belajar bahwa relasi dengan sesama adalah anugerah sekaligus tanggung jawab. Setiap pertemuan, baik yang singkat maupun panjang, adalah benang yang menenun kisah hidup. Ada yang terjalin rapat, ada yang renggang, tetapi semuanya memberi warna bagi perjalanan saya.

Ketujuh, saya mengerti bahwa waktu adalah guru yang paling sabar. Ia tidak terburu-buru, tidak pula mengulang pelajaran yang sama dengan cara yang persis sama. Waktu menuntun saya dengan kelembutan, sekaligus mengingatkan bahwa setiap momen terlalu berharga untuk disia-siakan.

Kedelapan, saya akhirnya sadar bahwa perjalanan hidup ini, dengan segala luka dan sukacitanya, adalah panggilan untuk berbagi. Apa yang saya alami bukan hanya milik saya, melainkan juga bisa menjadi cermin, penghiburan, bahkan pelajaran bagi orang lain. Dan mungkin disitulah letak arti terdalam dari semua yang saya jalani: menjadi manusia yang belajar memberi makna dan mengurai cinta akan rindu itu amat baik bagi jiwa yang terpisah.

Akhirnya:

Tulisan ini, dengan segala pelajaran dan renungannya, mungkin tidak akan ada jika saya tidak merantau. Jarak, kesendirian, dan setiap langkah di jalan berbatu telah mengajarkan saya melihat dunia, keluarga, dan diri sendiri dengan cara yang berbeda.

Merantau bukan sekadar perjalanan fisik, ini adalah perjalanan hati dan jiwa. Tanpa langkah-langkah itu, saya tidak akan tahu betapa dalam kasih sayang Bapak dan Mama, betapa berharganya waktu, dan betapa pentingnya memberi makna bagi setiap luka dan sukacita yang saya alami.