Harapan

Menolak Putus Asa


Sebuah catatan batin tentang keberadaan, keberanian dan harapan…

Dalam suatu perjalanan dengan jarak tempuh 9 jam melalui mobil travel yang tua, saya terbangun di ujung pagi, mobil yang saya tumpangi tengah mengaspal di Jalan Lintas Provinsi, Polewali Mandar – Mamasa, Sulawesi Barat.

Menjelang pagi, kabut tipis menyelimuti lembah-lembah hijau yang terbentang luas, membisikkan keheningannya pada ruang batin, “hai, hari akan cerah, tenang saja!”.

Dalam perjalanan panjang seorang manusia, peristiwa-peristiwa fisik meninggalkan jejak yang, setelah diolah oleh batin dan pikiran, menjelma menjadi pencerahan hidup.

Jika direnungkan lebih dalam, ibarat sebuah komputer, dunia ini di program oleh Ahli Agung yang amat luar biasa: burung-burung berkicau, bintang-bintang meredup, bulan menghilang, dan fajar menyingsing dalam irama yang tak pernah salah. Dari dalam diri saya, di tengah keteraturan itu, muncul sebuah kesadaran kecil, namun tak terelakkan: “Sudah pagi.”

Namun, dibalik kesadaran akan keteraturan alam itu, muncul pertanyaan yang lebih berat dan mengguncang:

Mengapa saya berada di sini, di dalam mobil yang melaju menuju sebuah tempat yang jauh, melewati jalan yang tidak selalu ramah, bahkan mungkin berisiko? Mengapa langkah ini harus kutempuh, dalam sunyi, dalam tanya, untuk bertemu orang-orang yang belum pernah saya jumpai sebelumnya? Mengapa harus saya yang melangkah?

Apakah ini sekadar perjalanan fisik, atau ada sesuatu yang lebih dalam yang sedang dibentuk oleh Semesta? Adakah panggilan yang tak tertulis yang sedang menuntun saya melewati ruang yang asing ini: bukan tanpa alasan, tapi demi sesuatu yang lebih besar dari sekadar tujuan geografis?

Akibatnya, pertanyaan-pertanyaan ini membawa saya pada inti keberadaan: bahwa kita hadir di dunia ini bukan karena pilihan, melainkan karena kita telah terlempar ke dalamnya, seperti yang diungkapkan Sartre. Namun dalam keterlemparan itu, kita tetap punya kebebasan untuk memilih: bukan sekadar apa yang kita lakukan, tetapi makna apa yang kita pegang dan berikan pada dunia.

Dalam keheningan itu, saya menyadari: meski hidup tak memberi kepastian, saya masih bisa memilih untuk berharap. Bukan sebagai ilusi, tapi sebagai sikap hidup.

Harapan

Namun dalam reaitas yang lebih dalam, seringkali kita membayangkan harapan sebagai sesuatu yang ringan dan menggembirakan: penuh afirmasi, senyum, dan semangat yang membara. Dalam bayangan populer, orang yang memiliki harapan kerap digambarkan sebagai pribadi yang selalu kuat, tegar. Namun, realitas kehidupan jauh dari gambaran ideal itu.

Dalam perspektif tertentu, harapan adalah sesuatu yang rapuh dan, pada waktu-waktu tak terduga, bisa menyakitkan. Ia tidak tumbuh dari ketidaktahuan, melainkan dari kesadaran penuh akan luka dan keterbatasan.

Harapan menuntut keberanian untuk menatap kenyataan tanpa ilusi, tanpa topeng. Ia memaksa kita mengakui bahwa kita belum tahu arah, belum sepenuhnya mampu, bahkan pernah gagal dan terluka. Itu kenyataan yang bisa menyakitkan jika kita sendiri belum siap menerimanya.

Karena itu, harapan sejati tidak lahir dari afirmasi motivasional yang berlalu cepat seperti di linimasa media sosial. Ia bukan sekadar ilusi positif yang berusaha menutupi kenyataan, atau bayangan samar tentang masa depan yang ideal.

Harapan sejati adalah bentuk keberanian ontologis yaitu sikap sadar dan jujur yang muncul ketika seseorang berani menghadapi absurditas hidup tanpa melarikan diri atau berpura-pura kuat.

Harapan sejati bukan hadir karena segala sesuatu berjalan sesuai rencana, melainkan karena kita memilih untuk tetap hidup, tetap hadir, dan tetap mencari makna, meskipun kita sadar bahwa hidup ini sering kali kejam, penuh ketidakpastian, dan tak jarang terasa tak masuk akal.

Akhirnya saya mengerti: bahwa hidup dalam pengharapan itu tidak mudah; Ibarat tidak mudah mengakui ketidakmampuan, atau bahkan kegagalan dalam mengurus ini dan itu; Tidak mudah memiliki harapan di tengah situasi sulit dan tak menentu. 

Walaupun begitu, harapan bukanlah imajinasi kosong atau abstraksi pikiran yang sekedar memantulkan realitas di masa depan. Harapan, oleh karenanya merupakan sikap sadar akan apapun juga dalam momen saat ini, disini, sekarang.

Beberapa menit lagi mobil travel tua itu tiba di tujuan, saya menarik perhatian dari rasa kagum yang amat dalam tentang keteraturan alam, lalu bergumam dalam hati,

Orang yang putus asa bukan karena ia tidak memiliki harapan, tetapi karena ia kehilangan arah dalam ketidakberdayaannya sendiri.

Refleksi itu membawa saya pada kesadaran baru: harapan bukanlah tentang menunggu masa depan datang membawa perubahan, melainkan tentang bagaimana kita menghidupi saat ini dengan penuh kesadaran dan makna. Harapan adalah kesediaan untuk terus melangkah, meski pelan; untuk terus melakukan sesuatu, meski kecil dan tampak remeh; untuk tetap hadir, meski dunia terasa hampa.

Harapan: belajar bersama Frankl, Marcel, dan Kierkegaard

Menariknya, apa yang baru saya pelajari tentang harapan ini bukan sekedar kesan pribadi. Ia menemukan gema dalam pemikiran para filsuf dan pemikir eksistensial seperti Viktor Frankl, Gabriel Marcel, dan Søren Kierkegaard.

Viktor Frankl, seorang psikiater yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi, menulis bahwa manusia bisa bertahan dalam penderitaan sejauh ia memiliki “mengapa” untuk hidup. Baginya, harapan bukan berarti menolak penderitaan, tetapi menemukan makna di dalamnya. Ketika segalanya dirampas dari manusia, masih ada satu hal yang tak bisa disentuh: kebebasan untuk memilih sikap terhadap penderitaan itu.

“Those who have a ‘why’ to live can bear with almost any ‘how’.” — Frankl

Sementara itu, Gabriel Marcel melihat harapan bukan sekadar sebagai pikiran positif, melainkan sebagai sikap eksistensial yang terbuka terhadap misteri. Harapan tidak datang dari kejelasan, tetapi dari keterbukaan hati terhadap apa yang belum bisa dipahami atau dikendalikan. Harapan, menurut Marcel, adalah “kita masih percaya akan kemungkinan yang belum terlihat, bahkan ketika semua alasan logis berkata sebaliknya.”

Lalu ada Søren Kierkegaard, yang menyelami harapan dari sisi spiritual yang dalam. Dalam karya-karyanya, ia menyingkap bahwa keputusasaan bukan karena penderitaan, tapi karena terasing dari diri sendiri dan dari Tuhan. Harapan sejati baginya adalah keberanian untuk menjadi diri sendiri di hadapan Allah, meskipun hidup penuh paradoks dan pertanyaan tak terjawab.

Harapan: kemampuan untuk tidak berhenti melakukan sesuati

Melalui benang merah itu, saya jadi mengerti bahwa harapan bukan tentang menunggu semuanya menjadi lebih baik, tetapi tentang memilih untuk hadir sepenuhnya dan utuh, meski retak. Ia tidak selalu terdengar lantang. Kadang, harapan hanya berbentuk nafas yang belum selesai, langkah kecil yang tak terlihat, atau kesetiaan dalam rutinitas yang melelahkan.

Dan jika hari ini kamu masih memilih untuk bertahan, meski hidup belum memberi jawaban. Jika kamu masih menyapa, masih mencoba, atau masih berdoa. Maka kamu sedang berharap.

Dan itu cukup.

Karena harapan sejati bukan soal menunggu terang, tapi tentang keberanian untuk tetap berjalan walau di dalam gelap; sebagai kemampuan untuk tidak berhenti melakukan sesuatu; bahwa diujung jalan akan ada terang.

Tiga Lapisan Kesadaran yang Menopang Harapan

Lalu, bagaimana harapan dapat bertahan?

Dalam ladang kehidupan yang tak selalu ramah, harapan memerlukan akar. Ia tidak tumbuh dari langit, tapi dari tanah kesadaran yang dalam. Harapan bukan bunga liar yang tumbuh dari angan, melainkan pohon sunyi yang bertahan karena akarnya menghujam ke lapisan eksistensi terdalam manusia. Seperti kata Albert Camus, dalam dunia yang absurd, manusia tak hidup karena hidup itu mudah, tapi karena ia memilih untuk tetap memberi makna: kesadaran dan kesediaan diri untuk tidak berhenti melakukan sesuatu. Itulah harapan.

Sikap sadar ini terbentuk melalui gulungan kecerdasan batin yang menjaga kita tetap berdiri kuat dan tegar dalam harapan:

Mengetahui Apa yang Bisa Dilakukan

Keberanian pertama adalah mengakui bahwa kita masih punya daya, sekecil apa pun itu. Bayangkan seorang ibu di desa kecil, terbelakang, tertinggal dan terluar, hari hidupnya habis di pedalaman tanpa referensi memadai untuk membangun harapan anak-anaknya: bahwa hanya melalui kemampuannya semata-mata tidak bisa menjamin masa depan anak-anaknya. Tapi ia tetap memasak, bercerita, menyanyikan lagu pengantar tidur atau sekali kali memberi nasehat kehidupan tentang, iman, pengharapan dan kasih. Ia tahu: menyelamatkan harapan bukan berarti menyelamatkan dunia, tapi menjaga kehidupan tetap bernafas di lingkup terkecilnya, semampu-mampunya.

Kita sering terperangkap mengurusi hal-hal besar yang tak bisa kita ubah, sampai melupakan ruang kecil yang nyata bisa kita garap.

Dalam konteks eksistensial, seorang pemimpin (kita semua) bukan hanya orang yang mengambil keputusan. Ia adalah manusia yang berdiri dalam waktu: ia tahu bahwa tanggung jawabnya tidak hanya pada hasil, tetapi juga pada cara ia hadir di hadapan orang lain dan di hadapan realitas itu sendiri.

Harapan, dalam hal ini, bukan sekadar strategi, tapi etika keberadaan. Sebuah komitmen batin bahwa meski situasi gagal, manusia belum tentu gagal. Ketika pemimpin mampu melihat apa yang masih bisa dilakukan, ia telah menghidupkan ulang harapan, bukan dengan slogan, tetapi dengan tindakan sadar yang membumi.

Mengakui Ketidaktahuan

Selanjutnya, berani berkata “Saya belum tahu” bukan tanda kelemahan, melainkan pembukaan diri menuju pengetahuan sejati. Seorang guru yang gagap teknologi tetap mengajar, pelan-pelan belajar dari nol. Yang penting bukan cepat atau lambat, tapi terus hadir dan berjalan dari gelap ke terang, dari belum tahu ke pengetahuan.

Sebab dalam filsafat, pengakuan atas ketidaktahuan bukan akhir dari pencarian, melainkan awal dari kebijaksanaan, seperti yang dihayati Sokrates: “Aku tahu bahwa aku tidak tahu.” Heidegger menyebut momen ini sebagai ‘Gelassenheit’, sebuah keterlepasan untuk membiarkan segala sesuatu menyatakan dirinya, tanpa ego tergesa.

Dalam ketidaktahuan yang diterima dengan jujur, kita mulai menyingkap hakikat yang tersembunyi. Sementara Kierkegaard mengingatkan: keputusasaan terbesar justru datang dari manusia yang menolak dirinya sendiri. yang pura-pura tahu, pura-pura kuat, dan kehilangan relasi dengan keaslian eksistensialnya.

Kepura-puraan tahu memperpanjang kebuntuan.

Mengambil Langkah Kecil Sekarang

Akhirnya saya mengerti bahwa kita tidak mengontrol segalanya, tapi bisa memilih sikap terhadap kenyataan. Dalam krisis, langkah besar sering tak muncul. Tapi satu teguk kopi hangat, satu paragraf tulisan, satu sapaan pada teman adalah langkah hidup yang menjaga denyut harapan.

Namun, perlu juga diakui secara kritis untuk memenuhi panggilan ini, marilah jujur: dunia penuh tekanan dan penghakiman yang bisa mengguncang jati diri kita. Rasa hancur dan keinginan menyerah pun mengintai. Apakah menyerah itu satu-satunya jalan? Tidak.

Mengakui keterbatasan bukan kelemahan, itulah kekuatan. Pengakuan ini membebaskan kita dari ilusi kontrol total, membuka ruang untuk strategi yang nyata dan mulai dari yang mungkin. Sebaliknya, mereka yang terperangkap dalam ilusi kendali akan tenggelam dalam keputusasaan yang sia-sia.

Menolak Putus Asa: Latihan Kesadaran

Bagaimana kita akan berdiri, berhadap-hadapan dengan realitas dalam sikap menolak putus asa? Tidak mudah, memang!

Menolak putus asa bukan sekadar semangat sesaat, melainkan disiplin kesadaran. Latihan batin ini melibatkan:

Harapan sebagai Gerak

Demikianlah, tidak akan ada masa sulit dalam hidup yang membuat kita berputus asa selama kita memiliki pikiran yang tajam terhadap harapan dan bagaimana cara kerjanya dalam hidup kita:

Sederhana, bahwa memiliki harapan berarti tidak berhenti melakukan sesuatu: ibarat bersepeda, jika kamu tidak ayuh, kamu akan jatuh dan tertimpa sepeda.

Harapan adalah gerak, bila berhenti mengayuh atau tidak bergerak maka kita pasti akan terjatuh. Jadi, menolak putus asa berarti tidak berhenti mengayuh, tidak berhenti melakukan sesuatu, sekecil apa pun itu. Itulah harapan.

Harapan sebagai Tindakan Disiplin

Jika kamu masih membaca sampai sini, mungkin kamu tengah bertanya: “Apakah masih layak berharap?” Jawaban saya sederhana dan jujur: Iya.

Tapi jangan berharap sendirian. Ajak kesadaranmu, kejujuranmu, bahkan ragumu. Biarkan harapan tumbuh bukan dari suatu perjalanan yang sempurna, tapi dari keberanian bertahan hidup, meski hidup belum sesuai harapan.

Saya ingat kembali kabut pagi yang saya saksikan di lembah-lembah Sulawesi Barat itu. Ia tidak berkata apa-apa, tapi hadir dalam diamnya yang jernih, seolah membisikkan sesuatu yang sulit dijelaskan namun terasa: bahwa saya tidak sendiri, bahwa hari akan cerah, bahwa langkah ini bukan tanpa makna.

Kini saya tahu, dalam hidup pun seperti itu: tak semua harus segera dimengerti, tak semua harus langsung selesai. Yang penting adalah tidak berhenti.

Dan jika kamu sedang berjalan sendirian hari ini dengan pertanyaan, kegagalan, atau rasa kehilanga, ketahuilah bahwa kamu tidak sendiri. Harapan itu kecil, tapi cukup. Ia lahir dari langkahmu yang belum berhenti.

Karena menolak putus asa bukan tentang menjadi hebat. Tapi tentang terus hadir, tetap berjalan, meski pelan, meski gerak dalam diam, meski belum tahu arah dengan pasti.

Menolak putus asa berarti tidak berhenti mengayuh sepedamu: bahwa segelap-gelapnya terowongan, ujungnya pasti ada cahaya.

Ayuh saja sepedamu. Dan itu… cukup.


Ingin Menyelam Lebih Dalam?
Jika tulisan ini membuatmu merenung lebih jauh, berikut beberapa karya klasik yang bisa kamu baca untuk memahami dimensi eksistensial, spiritual, dan praktis dari harapan:

Man’s Search for Meaning – Viktor Frankl
Tentang bagaimana manusia bisa bertahan dalam penderitaan melalui makna.
Homo Viator – Gabriel Marcel
Refleksi tentang manusia sebagai peziarah dan harapan sebagai sikap spiritual yang terbuka terhadap misteri.
The Sickness Unto Death – Søren Kierkegaard
Eksplorasi mendalam tentang keputusasaan, diri sejati, dan harapan dalam relasi dengan Tuhan.