Filsafat dan Cinta pada Kebijaksanaan

Apakah Anda termasuk orang yang bijaksana?

Dengan rendah hati, Pythagoras menjawab, “Saya hanya seorang philosophos—pencinta kebijaksanaan.”

Kebijaksanaan bukan sekadar koleksi pengetahuan. Ia adalah perjalanan panjang untuk menemukan diri, merasakan pengalaman dengan akal budi, membangun prinsip dan komitmen, serta mempertajam nurani dan pemikiran. Dalam proses ini, belajar menjadi bentuk tertinggi dari mencintai kehidupan.

Namun, mencintai kebijaksanaan juga berarti menolak kompromi terhadap prinsip. Prinsip, komitmen, dan nurani tidak boleh dinamis. Jika suatu nilai adalah A, maka ia harus tetap A dalam segala ruang dan waktu. Jika suatu saat kita menggantinya dengan B, maka sejak awal kita tidak pernah benar-benar meyakini A.

Pendidikan dan Bahaya Motivasi Uang

Kita pergi ke sekolah untuk mengajar karena uang: Kita membangun sekolah demi uang: Kita belajar agar bisa mendapatkan pekerjaan yang memberi uang.

Uang menjadi motivasi utama, dan pendidikan kehilangan makna luhur yang seharusnya melekat padanya. Cita-cita menjadi guru sebagai panggilan jiwa terasa seperti romantisme yang runtuh di hadapan realitas ekonomi. Jika uang menjadi puncak tujuan, maka nilai-nilai kemanusiaan tak lagi tumbuh dalam ruang pendidikan.

Pertanyaannya: Siapa yang akan mendidik para pendidik? Dapatkah manusia diarahkan untuk mengejar nilai, bukan hanya kesejahteraan materi?

Jika jawabannya ya, maka akan lahirlah masyarakat yang dididik bukan oleh pasar, melainkan oleh kesadaran.

Kesadaran akan Kebodohan: Jalan Menuju Pembelajaran

Tarik napas, usap dada, bersyukurlah. Karena kita pernah dididik, bahkan dari kebodohan kita sendiri. Kesadaran akan kebodohan adalah gerbang awal bagi setiap pembelajar sejati.

Tanpa kesadaran ini, kita menjadi sombong, merasa pintar, dan berhenti belajar. Orang yang berhenti belajar justru cenderung paling rajin mengomentari, paling cepat menyimpulkan, dan paling malas memahami proses.

Padahal, dunia ini terlalu luas untuk bisa kita pahami sepenuhnya. Bahkan diri kita sendiri pun belum tentu kita kenali secara utuh.

Belajar adalah kegembiraan jiwa. Tanpa belajar, jiwa menjadi statis. Dan ketika jiwa statis, peradaban ikut mati. Maka, mereka yang berhenti belajar sebenarnya telah menutup pintu kemanusiaan.

Kemerdekaan Jiwa dan Cinta yang Membebaskan

Merdeka bukan sekadar bebas dari aturan, tetapi tentang kemampuan mencintai secara sadar. Mencintai bukanlah menindas, menyakiti, atau memanipulasi. Cinta yang sejati adalah kebebasan: membiarkan yang dicintai tumbuh dengan jati dirinya.

Apakah kita benar-benar merdeka, atau masih terikat oleh kepentingan tersembunyi?

Kemerdekaan sejati adalah perjuangan yang tak pernah selesai. Ia bukan hasil akhir, melainkan proses terus-menerus untuk melepaskan diri dari belenggu ketidaksadaran, egoisme, dan ilusi.

Penutup: Menjadi Cinta bagi Kebijaksanaan

Mari bertanya pada diri sendiri: Apakah kita sungguh mencintai kebijaksanaan? Atau kita hanya menikmatinya saat kita merasa menang?

Jika benar mencintainya, maka tugas kita adalah mendidik diri. Sebab dari sanalah lahir kemerdekaan sejati—yang tidak ditentukan oleh kekuasaan, gelar, atau uang, melainkan oleh kejernihan jiwa dan kekuatan cinta.