Banyak Bicara Pertanda Butuh Perhatian

Memahami GMKI sebagai Sekolah Latihan

Pendidikan dapat melahirkan pemimpin—tapi juga penjahat. 

GMKI tidak cukup hanya dipahami sebagai lembaga mahasiswa Kristen terbesar di Indonesia. GMKI harus menjelma menjadi manusia—yakni manusia yang kesadarannya telah purna tentang tanggung jawabnya bagi Gereja, bangsa, dan negara (baca: GMKI: Sekolah Keteladanan).

Di GMKI, nasionalisme dan oikumenisme saja tidak cukup menjadi ukuran kepantasan seseorang sebagai kader. Lebih dari itu, setiap kader GMKI memikul tanggung jawab moral atas segala hal yang berkaitan dengan kepentingan dan kebaikan bangsa serta negara Indonesia.

Kita tahu bahwa nasionalisme dan oikumenisme adalah dwi watak GMKI—suatu identitas ganda yang tidak dimiliki oleh organisasi mahasiswa Kristen lainnya. Inilah yang membedakan GMKI: ia hadir sebagai organisasi pelayanan sekaligus organisasi kader.

Sebagai sekolah latihan bagi mahasiswa Kristen, GMKI bertugas mempersiapkan anggotanya menjadi pelayan dan pemimpin, di manapun kelak mereka menjalani panggilan hidup.
Dan dalam keberadaan mereka di tengah dunia itulah, GMKI seharusnya tidak hanya dikenali sebagai organisasi, tetapi disamarkan sebagai manusia hidup—atau bahkan sebagai gereja yang hidup—yang hadir dengan kasih, integritas, dan tanggung jawab.

Sudah Sejauh Mana GMKI Menjadi Pusat Sekolah Latihan?

Amanat agung pendiri GMKI, Dr. Johannes Leimena, dalam pidato pendirian organisasi ini bukanlah pesan yang ringan. Menjadikan GMKI sebagai sekolah latihan bukan sekadar jargon, tetapi panggilan serius yang menuntut kita menjadi imamat bagi gerakan ini.

Jika GMKI benar adalah sekolah latihan, maka kursus kepemimpinan dan pelayanan harus menjadi prioritas dalam setiap pengambilan keputusan organisasi. Tidak cukup hanya mengisi struktur dan melangsungkan program—GMKI harus menjadi tempat penempaan diri yang sejati.

Kini, ketika GMKI telah menempuh lebih dari tujuh dekade perjalanannya, kita harus berani berdialog secara jujur:

Apakah GMKI sungguh-sungguh telah menjadi sekolah latihan bagi anggotanya?

Jika kita menjawab “ya”, maka pertanyaan berikutnya segera menyusul:

  • Apa indikator yang membuktikan bahwa GMKI benar-benar menjalankan fungsinya sebagai pusat pembentukan pelayan dan pemimpin?
  • Bagaimana kita memahami output dari proses itu?
  • Seperti apa wajah kader hasil tempaan GMKI hari ini?

Secara kelembagaan, GMKI telah banyak berkontribusi bagi gereja, bangsa, dan negara. Namun, dalam dunia yang semakin “edan” ini, kita juga harus mengusung misi yang lebih mendasar:
Misi daur ulang pengetahuan yang rusak.

Apa maksudnya?

Daur ulang pengetahuan yang rusak adalah upaya sadar untuk keluar dari ketidaktahuan—yakni kesadaran bahwa ada begitu banyak hal yang belum kita pahami, meski kita merasa sudah tahu. Bahwa kita seringkali berjalan dalam semangat pelayanan yang penuh kebanggaan, namun hampa akan kejujuran eksistensial.

Izinkan saya mulai dengan kejujuran ini:

Saya pribadi banyak tidak tahu.
Dan mengetahui bahwa saya banyak tidak tahu—itulah kesadaran awal dari rasa ingin tahu terhadap tumpukan jerami pengetahuan yang rusak.

Namun saya tahu, saya tidak sendiri.
Kita pun sering kali bersikap seolah-olah tahu banyak, padahal kehilangan arah.

Kita mengaku Yesus Kristus sebagai Kepala Gerakan, namun seringkali justru kita yang ingin mengepalai semua bentuk gerakan ini. Kita menjual iman di hadapan uang, posisi, dan kekuasaan. Kita melayani karena ada maunya dan seenaknya saja. Kita memotong jalan saudara-saudara kita, tidak puas ketika mereka mendapat kesempatan pelayanan lebih dulu. Kita memburu pengakuan, tepuk tangan, dan pujian—namun yang tersisa hanyalah kehampaan.

Kita tahu bahwa semua itu buruk, dan tidak mencerminkan nilai-nilai keteladanan Kristus. Tapi kita tetap melakukannya – Inilah wajah pengetahuan yang rusak.

Dan justru disinilah fungsi sejati dari sekolah latihan: memperbaiki pengetahuan yang rusak itu—bukan hanya lewat pelatihan formal, tapi melalui proses belajar yang hidup, terbuka, dan terus menerus dan dalam kesadaran takut akan Tuhan (Amsal 1: 7).

GMKI harus menghadirkan ruang belajar yang fleksibel, inklusif, dan dapat diakses oleh seluruh anggotanya. Bukan sekadar ruang politik tanpa etika pelayanan, melainkan ruang pembentukan spiritual, sosial, dan intelektual—agar sekolah latihan ini benar-benar melahirkan pelayan dan pemimpin yang siap memberi diri, bukan sekadar mencetak CV.

Suatu Kritik Bagi GMKI Sebagai Sekolah Latihan

Siapa yang bertanggung jawab atas amanat agung sang pendiri GMKI?
Tinggi Iman, Tinggi Ilmu, dan Besar Pengabdian—sebuah semboyan yang sering kita ucapkan di akhir pidato sebelum amsal didoakan, sesungguhnya bukan sekadar penghias seremoni. Itu adalah profil kader yang utuh dan total. Profil itu juga tercermin dalam Pola Dasar Sistem Pendidikan Kader (PDSPK) GMKI yang menjadi standar nilai kita bersama.

GMKI bukan sekadar lembaga—GMKI adalah orang-orangnya. Maka, “orang-orangnya” lah yang memikul tugas dan tanggung jawab untuk memastikan organisasi ini tetap hidup dalam arti sebenarnya: kursus pelayanan dan kepemimpinan yang terus berumur panjang dan relevan di konteks zaman.

Tri Panji dan Profil Kader yang tertuang dalam PDSPK tidak boleh hanya menjadi slogan. Internalisasinya harus diupayakan melalui pelatihan, ruang belajar fleksibel, serta kegiatan yang memperkuat identitas kader.

Menyoal Sekolah Latihan

Organisasi bisa bubar, atau setidaknya pincang, bila nilai-nilai dasarnya diabaikan. Proses internalisasi nilai itu perlu difasilitasi—melalui kelas diskusi, selebaran, literasi, dan dialog dari mereka yang sungguh-sungguh menghayati keluhuran organisasi.

Dalam banyak hal, literasi adalah pintu masuk menuju kebatinan organisasi. Seseorang yang telah masuk ke dalam pelukan batin organisasi akan menjadi manusia organisasi—sebuah sebutan bagi mereka yang menopang eksistensi GMKI secara utuh.

Namun hari ini, sebagian anggota belum sepenuhnya memahami GMKI sebagai sekolah latihan.
Bagi mereka, cukup ikut Maper, dapat sertifikat, lalu selesai. Berbagai cara sudah kita tempuh untuk menarik simpati, tapi banyak yang kecanduan zona nyaman.

Tak jarang, bahkan mereka yang aktif pun terjebak dalam dinamika sempit. Hadir dalam kegiatan demi kegiatan, berkeringat menyusun program, namun motivasinya bercampur dengan pencarian “kawan sepadan”.

Fungsionaris pun tak luput dari persoalan. Kita terlalu banyak membuang waktu untuk urusan remeh, stagnan dalam memperbaiki diri, namun begitu dinamis dalam mengejar kedudukan dan gengsi.

GMKI sebagai Sekolah Latihan kadang hanya jadi jurus marketing untuk mahasiswa baru. Kita berbusa-busa menjelaskan konsep sekolah latihan, tapi pada kenyataannya, belum sungguh kita wujudkan.

Rekrutmen anggota pun seringkali tanpa kedalaman. Kita hanya menunaikan formalitas. Setiap hari hanya mondar-mandir di organisasi hingga masa pertanggungjawaban datang dan siklus itu berulang.

Jika setelah membaca ini kamu ingin menyangkal dan berkata ini semua ngawur—ingatlah, tulisan ini dibuat dalam keadaan sadar. Dalam kesadaran itulah kita perlu jujur bahwa GMKI harus hadir sebagai kebutuhan generasi masa kini. Dan kita semua memikul tanggung jawab yang sama.

Kita Semua Memikul Tanggung Jawab yang Sama

Sebab orang-orang hari ini hidup dalam dunia yang begitu riuh, namun miskin makna. Waktu dihabiskan untuk hal-hal remeh: bermain game berjam-jam tanpa arah, memperbincangkan siapa berselingkuh dengan siapa, menguping gosip politisi dan artis yang sedang naik daun, menonton reels dan TikTok joget-joget tanpa jeda, memburu konten viral yang tidak membentuk akal sehat, dan terus menggulir layar demi hiburan instan yang tak meninggalkan apa-apa selain kelelahan dan kehampaan.

Kita hidup di zaman yang mengagungkan kecepatan, namun kehilangan kedalaman. Di mana swafoto lebih penting dari suara hati, dan validasi dari layar lebih berarti daripada pertanggungjawaban diri.

Budaya ini tak bisa kita tolak sepenuhnya. Tapi jika kita larut di dalamnya tanpa kesadaran kritis, maka GMKI hanya akan menjadi gema kosong di tengah hiruk-pikuk dunia yang kehilangan ruh pelayanan dan pembinaan.

Kesadaran Baru

Di titik inilah, kita membutuhkan Kesadaran Baru.

GMKI sebagai sekolah latihan menuntut adanya proses belajar yang tak pernah berhenti. Di dalamnya, semua anggota punya hak dan kesempatan yang sama untuk bertumbuh, untuk berbenah, dan untuk diperbaharui. Bahwa setiap kegiatan GMKI adalah kelas pelatihan; setiap pertemuan adalah pertemuan pikiran; setiap percakapan adalah percakapan yang menuntun pada kesadaran baru.

Kesadaran baru adalah keadaan di mana kita tahu apa yang kita tahu, dan tahu apa yang tidak kita tahu. Kita menepi di ujung percakapan dan berkata jujur pada diri sendiri:
“Hai diriku, betapa sedikitnya yang engkau ketahui!”

Kesadaran inilah yang akan mendorong kita untuk menertawakan dunia yang bergerak cepat dan gila—bukan karena kita mengejek, tapi karena kita sadar: kita butuh tumbuh, kita perlu berubah.

Dan dari kesadaran itu, lahirlah dorongan untuk menjadi pribadi yang lebih baik, yang menginspirasi, yang memberi makna. Manakala kita tidak lagi terkejut atas tahu dan tidak tahunya kita, mungkin akal kita sedang tidak sehat.

Tanda-Tanda Kesadaran Baru

Bagaimana kita tahu bahwa kesadaran itu tumbuh?

  • Ketika kita lebih banyak belajar daripada menilai orang lain.
  • Ketika kita memilih bertindak daripada hanya mengeluh di ruang rapat.
  • Ketika kita lebih sibuk memperbaiki diri daripada mencari pujian.
  • Ketika kita gelisah melihat ketimpangan, tapi tidak melempar tanggung jawab—melainkan mengambil bagian untuk memperbaikinya.
  • Ketika kita tidak lagi mengukur keberhasilan organisasi dari banyaknya program, melainkan dari dalamnya proses kaderisasi dan pelayanan yang kita alami.

Kesadaran baru tidak hanya mengubah individu, tetapi memberi nyawa bagi organisasi. Bila ini menyala di banyak kader, maka GMKI akan tetap relevan, bahkan dalam zaman yang terus berubah.

Paradoks Sekolah Latihan

Dengan bangga kita mengaku GMKI sebagai sekolah latihan. Tapi pertanyaannya:
Sebagai sekolah latihan, kita sebenarnya sudah berlatih sampai di level mana?

Hari ini, kita melihat banyak pemimpin di berbagai bidang—pejabat, politisi, aktivis, akademisi—yang dalam perjalanan hidupnya pernah melewati sekolah latihan. Tetapi kita juga melihat mereka yang duduk di kursi pesakitan: koruptor, pengkhianat, pecundang. Mereka pun pernah “berlatih”, tetapi entah sedang mempraktikkan nilai yang seperti apa.

Inilah paradoks dari sekolah latihan:
Ia bukan tempat netral. Ia adalah ruang pembiasaan. Dan pembiasaan tidak selalu berarti kebaikan.
Kita bisa saja setiap hari berkegiatan, menyusun program, bicara tentang pelayanan dan kepemimpinan—namun tanpa sadar, kita sedang melatih diri untuk menjadi curang, tidak adil, haus pujian, dan tega menjatuhkan rekan sendiri.

Jika yang kita biasakan dalam proses belajar adalah saling sikut, manipulasi, pencitraan, kemalasan, dan pembiaran terhadap kebodohan, maka jangan heran jika suatu hari kita menjumpai alumni GMKI duduk sebagai terdakwa kasus korupsi, atau berdiri sebagai politisi yang kehilangan arah moral, atau menjadi tokoh publik yang terang-terangan menggadaikan nilai-nilai yang dulu ia teriakkan.

Sebab sekolah latihan tidak menjamin seseorang akan menjadi pemimpin yang baik. Sekolah latihan hanya menyediakan ruang. Pilihan tetap ada pada kita: Apakah kita akan berlatih menjadi pemimpin yang melayani? Atau berlatih menjadi pemimpin yang mencurangi?

Seruan Reflektif untuk Kader GMKI

“Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya.”
—Amsal 27:17

Tulisan ini bukan untuk menggurui. Juga bukan untuk mencaci. Ini adalah seruan reflektif sebagai upaya menajamkan. Sebab dalam perjalanan panjang sebagai bagian dari GMKI, saya menyadari bahwa kita tidak bisa terus-menerus saling membiarkan dalam ketumpulannya. Kita harus saling menajamkan—dalam kasih, dalam kejujuran, dalam semangat membangun, dan dalam ketulusan untuk kembali ke jalan yang benar.

Tulisan ini adalah pengembangan dari naskah reflektif yang pertama kali saya tulis pada Februari 2019. Waktu itu, saya hanya ingin menyampaikan kegelisahan pribadi. Kini, saya tahu bahwa kegelisahan itu juga milik banyak kader. Ia hidup di percakapan-percakapan kecil antar kader, di ruang-ruang diskusi yang sepi, di hati-hati yang lelah karena terlalu lama berjalan tanpa arah yang jelas.

Kita semua tahu bahwa GMKI punya sejarah panjang, punya amanat besar, dan punya visi yang luhur. Tapi kita juga tahu bahwa tidak semua orang di dalamnya sungguh menghidupi nilai-nilai itu.
Bahkan mungkin, kita pun bagian dari yang telah lalai.

Maka mari kita gunakan tulisan ini sebagai cermin, bukan senjata. Sebagai pengingat, bukan penghakiman. Sebagai pelatuk, agar kita bangkit dari kejumudan.

Apalah arti bicara pelayanan, jika hati kita penuh kepalsuan?
Apa gunanya bicara kaderisasi, jika kita sendiri tak berubah menjadi lebih baik?
Apa faedah menyebut Kristus sebagai Kepala Gerakan, bila dalam praktiknya kita bertindak seakan-akan diri sendirilah pusat dari segalanya?

Bung, tulisan ini tidak akan berarti apa-apa jika selesai dibaca lalu dilupakan. Tapi ia bisa berarti banyak, bila dibaca dalam keheningan, dan direnungkan dalam kejujuran. Mungkin menyakitkan. Tapi seperti besi menajamkan besi—terkadang luka memang bagian dari pemurnian.

Mari kita buka ruang dialog dengan diri sendiri. Mari kita pulihkan wajah GMKI—bukan sebagai simbol, tetapi sebagai sekolah hidup. Tempat kita semua dilatih dan dibentuk. Tempat kita, dengan segala luka dan kegagalan, bertumbuh untuk menjadi pelayan dan pemimpin yang setia.

Jika Tuhan Yesus masih menjadi Kepala dari gerakan ini, maka kita harus berani berkata:
“Hai diriku, mari kita berbenah.”

————————————————————————————–

Harapan untuk Para Pembaca dan Kader GMKI
Kepada setiap pembaca,
terutama kepada rekan-rekan seperjuangan di GMKI:
Tulisan ini adalah panggilan untuk kembali—
kembali pada nilai, pada kesadaran, pada Kristus.

Kiranya setelah membaca, kita tak lagi hanya menghafal semboyan, tetapi menghidupinya dalam keseharian. Pada akhirnya kita tak lagi sibuk memoles struktur, tetapi memperkuat karakter.

Semoga GMKI, dalam usia yang terus bertambah, menjadi ruang yang makin tajam, makin hangat, dan makin tulus sebagai sekolah latihan hidup. Bukan sekadar mencetak pemimpin, tetapi menumbuhkan pelayan-pelayan Kristus yang peka, rendah hati, dan siap mengabdi di mana pun ia ditempatkan di medan layan.

Dan semoga kita semua—dalam keberadaan kita yang sederhana—boleh menjadi bagian dari transformasi yang nyata, bukan karena hebatnya kita, tapi karena anugerah Tuhan yang bekerja dalam dan melalui kita.

Mari terus belajar, terus berbenah, dan terus berharap. Sebab Kristus masih memanggil kita: bukan untuk menjadi besar, tapi untuk menjadi benar.