GMKI: Sekolah Keteladanan (1)

Suatu Pengantar

Manusia, Tidak Ada Waktu untuk Melarikan Diri dari Kenyataan

Dunia ini belum tua usianya. Artinya, peradaban dan sejarah umat manusia akan terus berlangsung dengan segala dinamikanya. Manusia adalah satu kesatuan utuh antara tubuh dan jiwa. Seperti tubuh yang harus mampu beradaptasi di berbagai lingkungan dan kondisi baru, demikian pula jiwa harus siap menghadapi perubahan zaman.

Jiwa manusia kini dihantam oleh bayang-bayang perkembangan dunia yang begitu cepat—tak tampak, tapi hangat terasa. Ia bisa saja terkontaminasi oleh derasnya arus era digital, atau justru mampu berjalan seiring dengannya, agar tidak tertinggal oleh zaman. Dalam berbagai dimensi kehidupan, manusia—bagaimanapun keadaannya—tidak punya kemewahan untuk melarikan diri dari gejolak kemajuan dunia.

Perkembangan dunia yang kita hadapi saat ini, betapapun mengejutkan atau melelahkan, bukanlah sebuah takdir. Ia juga bukan hasil seleksi alam semata. Ia adalah benturan pemikiran manusia dari masa ke masa; sebuah dialektika tanpa ujung. Setiap hari, manusia—di belahan dunia mana pun—sedang menggumulkan bentuk tatanan kehidupan yang baru demi kelangsungan hidup bersama. Mencari jalan keluar dari persoalan-persoalan yang terus dipergumulkan dan hampir tak pernah selesai diperbincangkan oleh sesama manusia.

Di tengah derasnya perubahan zaman dan kemajuan teknologi, kita semua—termasuk generasi muda—dihadapkan pada tantangan besar: apakah kita hanya menjadi penonton atau ikut bergerak bersama perubahan itu? Dari sinilah kita mulai mengenal sebuah gerakan besar: generasi milenial.

Pemujaan terhadap kaum milenial
Untuk memajukan Indonesia, atau setidak-tidaknya manusia Indonesia yang keberatan digilas atau dilampaui kemajuan dunia, dari pucuk kekuasaan dan pilar-pilarnya hingga ke arus bawah kehidupan masyarakat, sudah dan sedang dilangsungkan gerakan milenial.

Milenialisme sebagai upaya sadar gerakan suatu generasi yang menganggap melek terhadap era digital atau peradaban manusia yang kian kemari, kian membingungkan bagi orang-orang awam.
Gerakan ini, dengan sadar terus dikampanyekan oleh berbagai organisasi, komunitas hingga instansi pemerintah. Gerakan ini baik adanya.

Bahwa kenyataan-kenyataan perkembangan dunia di masa kini adalah seperti “polusi di suatu kota metropolitan yang tidak bisa dihindari, yang menjadi kawan bernafas setiap hari”. Generasi milenial adalah generasi “serba bisa”, yang di pundaknya, kebaikan bangsa dan negara dititipkan. Begitulah kira-kira isi kampanye perihal generasi milenial Indonesia.

Namun, di balik pujian dan harapan besar itu, ada pertanyaan penting yang jarang kita renungkan: apa sesungguhnya ideologi yang membentuk gerakan generasi milenial? Apakah mereka hanya ikut arus, atau punya kesadaran kritis dan tanggung jawab yang dalam? Di sinilah peran organisasi seperti GMKI menjadi sangat penting—sebagai ruang untuk dialog dan refleksi kritis.

GMKI: Dialog dengan Diri Sendiri

Beberapa tahun belakangan, GMKI mulai dikenal secara lebih luas. Perannya dalam mewujudkan cita-cita Indonesia, serta upayanya menghadirkan Syalom Allah di tengah kondisi bangsa yang retak di hampir semua sisi, semakin terang dan nyata.

Namun, GMKI tidak cukup hanya dipahami sebagai lembaga mahasiswa Kristen terbesar di Indonesia. GMKI harus menjelma menjadi manusia—manusia yang kesadarannya sudah purna akan tanggung jawabnya bagi gereja, bangsa, dan negara.

Apa maksudnya?

Tidak semua mahasiswa Kristen bergabung dengan GMKI. Bahkan di antara anggota aktif dan senior, banyak yang telah kehilangan roh kepedulian terhadap kehidupan di sekitarnya. Mereka berpikir, “Saya mahasiswa, ikut GMKI, lalu selesai dengan kuliah dan diterima kerja—itu saja tugas saya.” Pola pikir seperti ini sudah banyak mengakar dan terus menggenerasi.

Lebih jauh, para pengurus GMKI pun seringkali hanya memandang organisasi ini sebagai ajang mengisi posisi demi popularitas, pengakuan, dan kebanggaan semata. Kesadaran untuk mengukur kompetensi dan mengurus organisasi ini dengan sungguh-sungguh masih sangat dangkal. Narasi GMKI sebagai organisasi kader sekaligus organisasi pelayanan sering jadi perbincangan hangat, namun kenyataannya sangat pahit. Siapa di antara kita, Bung, yang benar-benar merasakannya?

Ketika tulisan ini tiba di hadapamu, jangan cepat emosi! GMKI adalah ruang dialog, bahkan dengan Diri Sendiri. Mari kita buka ruang dialog—di grup angkatan, komisariat, dan pengurus kita. Meskipun kebenaran itu terkadang menelanjangi, kita harus berani menghadapinya.

Bung, GMKI adalah ruang yang sangat luas untuk terus belajar bertanggung jawab, membangun komitmen, dan konsisten dalam perjuangan. Namun di sisi lain, GMKI juga terlalu sempit jika hanya menjadi tempat saling caci maki dan menjatuhkan. Sayangnya, ruang dialogis sebagai pertemuan antarpikiran dan jiwa yang matang masih relatif kurang efektif di antara kita.

Bung, kapan terakhir kali kita mempercakapkan bagaimana seharusnya kita mengurus gerakan ini? Percakapan itu—setidaknya untuk refleksi diri—sangatlah penting. Apakah Yesus Kristus, Sang Kepala Gerakan, benar-benar membutuhkan gerakan ini? Sejauh mana kita menyaksikan Dia sebagai Tuhan dan Juruselamat melalui karya pelayanan kita? Ataukah suatu hari nanti, ketika kita terlalu sibuk mengelola gerakan ini, justru saat itulah kita menyadari kehadiran Kristus? Karena sesungguhnya, Kristus tidak membutuhkan GMKI.

GMKI bukan hanya soal eksistensi sebagai organisasi, tapi tentang panggilan hidup yang harus kita jalani dengan sungguh-sungguh—melayani dengan hati yang tulus, bukan demi popularitas atau rutinitas kosong. Melalui dialog jujur dengan diri sendiri, kita bisa memastikan bahwa kita tidak hanya berjalan bersama zaman, tapi juga berjalan bersama Kristus yang memimpin setiap langkah kita.

Hai diriku,
Masihkah hatimu tulus dalam melayani digerakan ini?
Sudahkah engkau benar-benar layak menyebut dirimu kader GMKI?

Akhir-akhir ini, dunia terasa semakin kacau:
Relasi antara manusia dengan sesamanya, antara manusia dengan alam semesta, bahkan antara manusia dengan Tuhannya—semuanya rusak parah.

Sebagai manusia yang melayani dan menjadi kader dalam gerakan ini, saya menyadari bahwa saya sering gagal memulihkan relasi-relasi yang rusak itu. Kadang-kadang, saya justru menjadi bagian dari kegagalan itu bagi rekan saya. Bahkan tak jarang, saya menjadi pemantik keretakan dan pembusukan nama baik kawan seperjuangan saya. Ada saat-saat ketika saya bersikeras merasa paling benar.

Jika begini keadaannya, benarlah bahwa Kristus memang tidak membutuhkan gerakan ini.

Dan jika Kristus tidak membutuhkan gerakan ini, maka apa maknanya keberadaan kita di hadapan Kristus, jika yang kita peluk erat hanyalah gerakannya—bukan Kristus sendiri?

Sejauh ini, sudahkah kita benar-benar menyadari bahwa Kristus-lah yang memimpin gerakan ini?

Bung tentu tahu betul bagaimana rasanya dipimpin oleh Sang Kepala Gerakan—sebuah kepemimpinan yang terberkati, dan pada saat yang sama, sungguh memberkati. Namun, mari kita renungkan lebih dalam melalui ayat firman berikut ini:

“Lalu bangunlah Yesus, menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya. Kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya, lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya.” — Yohanes 13:4-5

Membasuh kaki adalah pekerjaan yang lazim dilakukan oleh pelayan atau budak.
Menjelang perayaan Paskah, di ruang atas tempat Yesus dan para murid berkumpul, tak ada pelayan yang hadir. Namun lebih dari itu, tak satu pun dari para murid yang secara sukarela mengambil inisiatif untuk melakukan tugas yang dianggap hina ini.

Mengapa?
Mengapa tidak ada satu pun murid yang bersedia turun tangan?

Mungkin karena dalam benak mereka, pekerjaan itu adalah urusan orang-orang kecil dan rendahan. “Itu bukan tugas kami,” begitu barangkali pikir mereka saat itu.

Tanpa banyak berkata-kata, Yesus justru meluncurkan pesan yang tak terbantahkan—bukan lewat ceramah, tetapi lewat tindakan:

 “Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu.” – Yoh.13:14-15.


Jadi, Bung,
Jika Kristus yang memimpin gerakan ini, maka kepemimpinan kita pun harus mencerminkan Dia: total, tuntas, dan tulus. Melayani siapa pun, tanpa kecuali—dengan kasih yang tak pilih-pilih dan cinta yang benar-benar mengakar.

Hai diriku, autentik kah perjuanganmu?

GMKI sebagai sekolah teladan mengandaikan bahwa setiap insan di dalamnya—termasuk dirimu sendiri – yang berbangga saat diakui sebagai kader—harus terus-menerus berdialog dengan realitas dan bersedia mengoreksi secara total arah perjuangannya. Sekolah teladan memang istilah yang terasa asing bagi sebagian dari kita. Namun justru di sinilah letaknya panggilan itu: bahwa GMKI harus hadir sebagai manusia—pengikut Kristus—yang menjadi cermin, tempat orang lain dapat melihat dirinya, merefleksi hidupnya, dan menata kembali arah langkahnya.

Hari ini, 9 Februari 2025, GMKI genap berusia 75 tahun—sebuah perjalanan panjang yang sarat kontribusi bagi Gereja, Perguruan Tinggi, dan Masyarakat. Sejak awal berdirinya, GMKI telah ambil bagian dalam memperkuat iman Kristen di kalangan mahasiswa, membentuk karakter kepemimpinan, serta hadir aktif dalam dinamika dan kemajuan bangsa.

Di usia tujuh dekade lebih ini, GMKI bukan sekadar ruang belajar dan bertumbuh, tetapi telah menjelma menjadi garda terdepan—yang memberi pengaruh positif dalam kehidupan sosial dan kebangsaan.

Kiranya ke depan, GMKI terus meneguhkan komitmennya untuk melayani dengan integritas, kasih, dan semangat, demi terwujudnya masyarakat yang lebih adil dan sejahtera. Dan semoga, dalam setiap langkahnya, GMKI tetap menjadi teladan.

Bersambung ke Bagian 2: GMKI sebagai Sekolah Latihan.