Cinta: Suatu Dialog
Bagian Satu

Hari mulai gelap pada pekan pertama musim kemarau itu. Dauni melangkah meninggalkan sengatan senja yang perlahan redup. Di bibir pantai yang sunyi, ia melukis gambaran tentang jantung manusia—kisah yang kelak ingin ia ceritakan kepada siapa saja yang mau mendengarkan.

Bersama Langit, mereka menyanyikan lagu rindu yang pernah mereka ciptakan dalam mimpi, diiringi suara burung jelang tidur dan gemerisik roda sepeda yang merayu bibir aspal.

Dua cangkir kopi hangat tiba, menguar aroma yang membelai udara sore itu. Kafe Semesta memang dibangun di atas dialog-dialog yang mewakili jutaan batin, perasaan, semangat, dan air mata manusia.

“Apa arti hubungan kita, Langit?” tanya Dauni pelan, menatap ke arah langit jingga di atas.

“Apa itu hubungan, Dauni? Tolong jelaskan dengan sederhana.”

“Kalau aku di sisimu, atau jauh dari jangkauan matamu, atau suatu saat kau mengingatku sebagai pribadi—itulah hubungan,” jelas Dauni.

“Kenapa kau menjelaskan begitu panjang?” Langit tersenyum heran, mengaduk kopinya pelan.

“Kau bertanya seolah masih terperangkap di dalam gua kesadaran,” kata Dauni sambil menatapnya dalam-dalam. “Maksudku, seperti dalam alegori Plato’s Cave—bagaimana manusia sering terjebak dalam bayangan dan belum melihat realitas yang sebenarnya. Sebelum bertanya, seseorang harus paham dulu arti pertanyaannya sendiri.”

“Apakah kau bilang aku belum paham pertanyaanku?” tanya Langit serius, sedikit tersentak.

“Pertanyaan bukanlah jawaban, Langitku,” sahut Dauni lembut.

Langit tertawa pelan. “Baiklah, mari kita seruput kopi dulu. Aku selalu ingat pesanmu: kopi adalah kawan berpikir.”

Dauni tersenyum. “Waktu apapun tepat untuk ngopi, terutama saat bergulat dengan persoalan hidup.”

“Ya, seperti persoalan kita hari ini,” tambah Langit.

Kopi yang mereka hirup menghangatkan tubuh dan pikiran, menguar aroma pahit manis yang menenangkan. Suara ombak lembut menghempas pantai dan desir angin menambah tenang suasana.

“Kopiku malam ini terasa lebih pahit, mungkin karena pertanyaan gilamu,” canda Langit. “Ayo, senyum dua jari, Daun.”

Dauni membalas dengan senyum terbaiknya, seperti kesepakatan mereka tentang kebaikan senyum masing-masing.

“Langit, andai kata yang tidak ada itu ada, aku tetap akan berkata bahwa sejak awal tak pernah ada satu pun pesanmu yang luput dari hidupku.”

Langit tersenyum, lalu menjawab lembut, “Aku paham. Tidak ada yang tidak ada.”

Pesan-pesan yang sarat moral dan nilai kehidupan itu telah masuk ke kedalaman hidupku. Engkau adalah definisi tentang bagaimana mengetahui, memahami, dan menapaki jalan kebijaksanaan.

“Apakah kau masih ingat semua pesan-pesanku?” tanya Langit, suaranya lebih pelan.

“Setiap pesanmu tertanam dalam hidupku. Kau adalah definisi bagaimana mengetahui, memahami, dan menapaki jalan kebijaksanaan,” jawab Dauni.

Kopi di hadapan mereka pun terasa seperti kopi terbaik di dunia. Mereka adalah dua insan yang telah keluar dari diri sendiri untuk benar-benar memanusiakan manusia.

“Apakah kau ingin jawaban atas pertanyaanmu tadi?” tanya Langit.

“Seperti katamu, pertanyaan bukan jawaban,” balas Dauni.

“Dalam dialog kita, semua pertanyaan telah terjawab,” jelas Langit. “Pertanyaan adalah kunci membuka rahasia. Jawaban hanyalah air yang menyejukkan dahaga sesaat, tapi setelah beberapa langkah, dahaga itu kembali. Yang penting bukan airnya, tapi bagaimana agar kita tak pernah haus lagi.”

“Jawaban bisa membuat puas atau gelisah. Tapi pertanyaan membimbing kita dari satu mata air ke mata air berikutnya,” tambah Langit.

“Tanpa satu sama lain, apa arti seorang pribadi di hadapan secangkir kopi?” tanya Langit kemudian.

“Lagu yang kita ciptakan di bawah purnama Desember itu adalah lagu tentang pribadi dalam pribadi lain,” ujar Dauni. “Itulah syair terbaik, mengalun bersama suara air yang membelai bebatuan. Indah untuk kita dengar, kenang, dan tenang sebagai manusia.”

“Sudah cukup kopi malam ini, Langitku. Besok punya pergulatan sendiri,” kata Dauni mengingatkan saat Langit hendak memesan lagi.

“Mari pulang, Dauniku,” ajak Langit.

Bersambung…