Jembatan Emas dan Tugas Merawat Kemerdekaan

Bung Karno pernah menegaskan,

“Kemerdekaan hanyalah sebuah jembatan. Walaupun jembatan emas, di seberang jembatan emas itu jalan pecah dua: satu ke dunia sama rata sama rasa. Satu ke dunia sama ratap sama tangis.”

Konsepsi tentang dunia yang sama rata sama rasa dan dunia yang sama ratap sama tangis bukan sekadar retorika. Itu adalah pilihan nyata yang harus dihadapi bangsa ini. Kemerdekaan hanyalah pintu masuk, jembatan emas untuk menentukan kemana langkah kita selanjutnya. Sayangnya, evolusi kemerdekaan yang kita impikan berjalan begitu lambat. Masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera sebagai puncak dari perjalanan kemerdekaan, terlihat jauh dari jangkauan.

Evolusi Kemerdekaan: Dari Fisik ke Mental

Pada masa pra-proklamasi, kemerdekaan adalah perjuangan untuk merebut kebebasan dari cengkeraman penjajah. Kita membangun jembatan emas itu dengan darah dan air mata, demi keluar dari garis perbudakan dan menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Namun setelah proklamasi, perjuangan itu seharusnya berlanjut. Evolusi berikutnya adalah memerdekakan jiwa kita: merdeka secara mental, sosial, dan kultural. Sayangnya, perubahan ini tidak terjadi secepat yang diharapkan.

Pernah suatu kali, dalam diskusi bertajuk Revolusi Mental di Balai Kartini, Jumat (17/10/2014), Presiden Jokowi mengingatkan:


“Revolusi mental berarti warga Indonesia harus mengenal karakter orisinal bangsa. Indonesia adalah bangsa yang santun, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong. Karakter itu adalah modal kita untuk menjadi bangsa sejahtera.”

Pesan ini begitu jelas. Namun, kenyataannya, karakter yang dimaksud justru semakin pudar. Pertanyaannya: apakah berarti kita sudah gagal mewujudkan kemerdekaan mental, sosial, dan kultural?

Apakah pintu itu telah tertutup?

Jawabannya: belum.

Bangsa ini masih punya peluang besar untuk meraih kemerdekaan sejati. Asal kita mau dan mengusahkannya.

Kemajuan yang Sesungguhnya

Kemajuan bangsa tidak diukur dari gedung-gedung tinggi atau jalan tol yang menjulang. Kemajuan sejati terletak pada sikap mental masyarakatnya. Jika mentalitas bangsa ini dewasa, maka kemerdekaan akan menemukan maknanya: menjadi jembatan emas menuju kesejahteraan bersama, bukan sekadar jalan pintas untuk segelintir orang.

Merawat kemerdekaan adalah tugas setiap warga. Dan itu hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang benar-benar merdeka secara mental dan sosial. Merdeka secara mental berarti bebas dari belenggu ketidaksadaran atas karakter asli kita: santun, berbudi pekerti, ramah, dan gotong royong.

Mengakar dan Tumbuh

Merawat kemerdekaan berarti menanamkan kesadaran itu agar mengakar dan tumbuh dalam budaya bangsa. Artinya, bersikap santun kepada sesama, menghargai pengalaman dan pengetahuan orang lain, menampakkan keramahan sebagai wujud kematangan diri, serta bahu-membahu bekerja demi kepentingan bersama.

Semua untuk semua. Keringat semua untuk kebahagiaan semua. Holopis kuntul baris—istilah yang Bung Karno gunakan, adalah jiwa dari gotong royong. Seperti yang ditulis Yudi Latif dalam Revolusi Pancasila (2015), gotong royong adalah inti falsafah Pancasila, nafas persatuan bangsa.

Namun realitas hari ini berkata lain. Nilai-nilai orisinal itu justru mengalami kemunduran. Lihat saja cara kita beragama, berpolitik, dan bermasyarakat. Kita terjebak dalam konflik identitas, politik yang kotor, kesenjangan sosial yang melebar, dan jurang antara kaya dan miskin yang semakin dalam. Kekerasan dan terorisme merajalela, seakan menjadi wajah baru peradaban kita.

Kita Sedang Gagal Merawat Kemerdekaan?

Fakta-fakta ini memberi isyarat keras: kita gagal merawat kemerdekaan. Kita sibuk mengurus kepentingan diri sendiri, menang untuk kelompok sendiri, dan sejahtera sendiri-sendiri. Kita tidak maju sejengkal pun dalam kematangan mental.

Padahal, kemajuan dalam sikap mental adalah kemajuan yang nyata. Hanya dengan mentalitas yang sehat kita mampu menjadikan kemerdekaan sebagai jembatan emas, bukan jebakan yang menjerumuskan kita ke jurang ratap dan tangis.

Untuk Siapa Kita Merdeka?

Kita merawat kemerdekaan bukan untuk bahagia sendiri, bukan untuk menguntungkan segelintir orang. Jika itu yang terjadi, kitalah yang akan merobohkan jembatan emas yang dibangun dengan darah dan air mata para pendiri bangsa.

Pada akhirnya, merawat kemerdekaan berarti semakin jujur dalam berketuhanan, semakin adil dalam perikemanusiaan, semakin erat dalam kebersatuan, semakin dewasa dalam berdemokrasi, dan semakin gigih mengupayakan keadilan sosial.

Kemerdekaan ini untuk semua. Semua untuk semua. Merdeka! (*)


Catatan:

Tulisan ini pernah terbit tahun 2017 di salah satu koran lokal di Makassar dan di beberapa portal berita online di daerah.