Kebijaksanaan: Sebuah Perjalanan untuk Mengenal dan Menghidupi
Kebijaksanaan adalah mata air kehidupan. Kehidupan membutuhkan mata air ini untuk menghidupkan harapan, cita-cita, semangat berjuang, dan yang terpenting: memberi makna pada hidup.
Dalam dunia yang penuh hiruk-pikuk informasi dan lautan pengetahuan, manusia—dengan segala upaya mencari tahu—terus dihadapkan pada berbagai pilihan. Terutama di era internet ini, informasi datang tiada henti. Data, opini, teori, dan kabar berseliweran seolah semuanya penting, semuanya mendesak untuk dimengerti. Namun, dari semua itu, tidak semuanya membuahkan kedalaman. Tidak semua membawa kita pada kebijaksanaan.
Lalu bagaimana sebetulnya proses seseorang bertumbuh dalam pengetahuan hingga mencapai kebijaksanaan?
Tangga Pengetahuan: Dari Tahu Menuju Bijaksana
Ada tingkatan pengetahuan sebagai hasil dari usaha mencari tahu—sebuah tangga yang pelan-pelan kita naiki dalam perjalanan memahami dunia dan diri sendiri. Tangga ini dikenal sebagai DIKW Pyramid dalam kajian filsafat dan manajemen pengetahuan: Data, Information, Knowledge, Wisdom (Ackoff, 1989). Namun dalam kehidupan sehari-hari, tangga ini lebih membumi sebagai tiga tahap: tahu, paham, dan bijaksana.
1. Tahu (Mengetahui)
Ini adalah gerbang pertama. Kita mulai dengan tahu—sebuah perjumpaan awal dengan informasi. Kita membaca, mendengar, mencatat, dan menampung. Namun “tahu” masih datar. Ia belum menyentuh kedalaman makna. Seperti melihat kulit luar dari buah, kita tahu warnanya, bentuknya, tapi belum mencicipi rasa.
2. Paham (Memahami)
Lalu kita masuk pada jenjang berikut: paham. Ini adalah saat informasi tidak hanya lewat di kepala, tapi mulai menyentuh kesadaran. Kita mulai menghubungkan, menimbang, menyerap. Kita tak hanya tahu “apa”, tapi juga mulai mengerti “mengapa” dan “bagaimana”. Pemahaman membawa kita dari hafalan menuju makna.
3. Bijaksana (Memiliki Kebijaksanaan)
Dan akhirnya, kita tiba pada puncak: bijaksana. Kebijaksanaan adalah buah dari pemahaman yang telah direndam dalam pengalaman, disaring oleh empati, dan diarahkan untuk kebaikan. Orang bijak tidak hanya tahu dan paham, tapi juga tahu kapan bicara, kapan diam, kapan memberi, dan kapan menahan. Ia tidak pamer, tidak menggurui. Ia hadir dalam keheningan, namun menguatkan.
Banyak orang tahu. Sebagian mulai paham. Tapi hanya sedikit yang bijaksana. Karena tahu bisa terjadi dengan membaca. Paham lahir dari merenung. Tapi bijaksana—ia hanya mungkin tumbuh lewat perjalanan hidup yang jujur, dan kesediaan untuk diubah olehnya.
Kita Tidak Mengerti
Namun sebelum semua itu, ada kenyataan yang lebih dalam dan jujur: bahwa kita sering tidak mengerti. Kita dilahirkan dalam ketidaktahuan, dibesarkan dengan pertanyaan, dan hidup dalam pencarian.
Dalam keadaan tidak mengerti, kita tergerak untuk mencari tahu. Pertanyaan selalu mendahului segala upaya kita. Kita bertanya tentang hal-hal yang belum jelas, lalu mencari jawaban. Tapi kadang, tidak ada jawaban yang memuaskan. Kita terus mencari, namun tak pernah benar-benar puas.
Kenapa kita tidak mengerti?
Karena dunia ini begitu luas, dan diri kita pun dalam banyak hal masih misteri. Kita dibentuk oleh keterbatasan, oleh sejarah, oleh luka, oleh konteks yang tak sepenuhnya kita pilih.
Bagaimana akhirnya kita mengerti bahwa kita mengerti?
Ketika kita tidak lagi resah dengan jawaban. Ketika pemahaman membawa ketenangan, bukan sekadar kepastian. Mengerti, pada akhirnya, bukan sekadar tentang logika, tapi tentang rasa yang terhubung, dan kebenaran yang membumi dalam tindakan.
Jadi sebenarnya, mengerti itu apa?
Mengerti adalah kesanggupan untuk memaknai. Ia lebih dari tahu, lebih dari hafal. Ia adalah kemampuan melihat sesuatu secara utuh dan kontekstual, serta mampu bertindak dengan bijak berdasarkan pemahaman tersebut. Mengerti bukanlah akhir, tapi pintu menuju kebijaksanaan.
Kenapa Harus Saya?
Dari ketidaktahuan dan pencarian itu, tibalah kita pada perenungan paling eksistensial: Kenapa harus saya?
Saya berhenti sejenak di hari itu—sore menjelang senja—tanpa kicauan burung, di tepian pantai paling Timur. Menakjubkan.
Hari itu pelan-pelan berakhir. Yang tersisa adalah bekas perjalanan panjang, berat, dan sedikit berdebu.
Sebelum berakhir, senja itu berbisik: bahwa segala yang indah di bawah langit ini tidak abadi. Seperti uap yang tampak lalu lenyap. Seperti sekuntum mawar yang kelak menjadi sekam. Tak terkecuali dirinya sendiri, yang begitu indah karena suasananya—lembut, tenang, dan menyentuh.
Ia berkata padaku: fokuslah pada hal-hal yang membuat kita bertumbuh secara kualitas. Sebab yang fana tak pernah menjanjikan keabadian, tapi yang bertumbuh perlahan akan mengakar.
Sesi itu berakhir. Dan saya merenung.
Bahwa saya, atau kita, sering bertanya: Kenapa harus saya? saat berada di simpang jalan; saat realitas terasa asing; saat pahit kehidupan menampar tanpa aba-aba. Kenapa harus saya? saat tidak ada yang membantu, saat semua terasa tak adil. Kenapa harus saya? saat beban datang tanpa diundang.
Namun di sisi lain, Kenapa harus saya? juga layak dipertanyakan dalam keberlimpahan: Kenapa harus saya yang dipercaya? Kenapa harus saya yang diberi ruang bicara, perhatian, bahkan pujian?
Jawabannya tak selalu jelas. Tapi pertanyaannya penting. Karena di sanalah ruang kontemplasi terbuka, dan kesadaran bertumbuh.
Saya Lagi
Sebagaimana waktu, hidup adalah perjalanan. Maka saya terus berjalan. Tapi langkah ini makin berat. Tidak seperti angin, tidak seperti kapas. Bahkan di medan ringan pun, kadang saya enggan bergeser.
Lalu saya bertanya lagi: Apakah saya berjalan lebih tenang?
Dan suara batin itu menjawab: Saya masih ada di dalam “selalu”. Dalam kesempatan—saya lagi. Dalam kenyamanan—saya lagi. Dalam pujian, penghargaan, kehormatan—saya lagi.
Saya lagi yang memulai. Saya lagi yang mengakhiri. Saya lagi, dan lagi.
Inilah Wajah Kita
Kita selalu ingin di depan, ingin tampak, ingin dikenal. Kita ingin lebih, ingin unggul, ingin dipilih.
Tapi siapa kita sebenarnya?
Mengapa selalu saya? Saya ini Dewa? Yang harus ada di mana-mana? Yang harus menjadi pusat perhatian? Yang selalu merasa paling layak?
Jika saya memang Dewa, mengapa masih ada dorongan dari dalam diri: “saya lagi”? Padahal Dewa tak membutuhkan pengakuan—menjadi Diri-Nya sendiri sudah cukup. Tapi saya? Saya masih ingin dilihat, dipilih, didengar, dihormati.
Maka tidak heran jika akhirnya saya tersudut di tengah kota—kenyataan. Saya menjadi individualis: pusat semesta saya sendiri.
Dan yang paling ironis: Saya bahkan tidak sempat bertanya, “Mengapa saya lagi yang menjadi individualis?”
Penutup
Hidup bukan sekadar tentang tahu, bukan hanya tentang paham. Hidup adalah tentang belajar menjadi bijaksana—dengan terus bertanya, terus menghidupi, dan terus berserah pada perjalanan.
Maka jika hari ini kamu belum mengerti, bertanyalah. Jika kamu sudah tahu, dalamilah. Jika kamu mulai paham, hiduplah di dalamnya. Dan jika kamu diberi kesempatan menjadi bijaksana—diam dan dengarkanlah hidup.
Karena kebijaksanaan, seperti senja yang memudar, tak butuh sorak, ia hanya ingin kau temui, dan kau hayati—dalam diam.