
Satu kesalahan mendasar saya saat melakukan perjalanan ialah tidak mengahayati perjuangan yang telah saya lalui.
Menghayati perjuangan berati mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri secara kritis, terbuka dan jujur; ‘mengapa saya harus berada di jalan ini’? Apakah seharusnya saya berada disana? Bagaimana mendudukan nilai-nilai yang saya miliki untuk turut serta berjuang mendatangkan keberhasilan bukan untuk saya saja melainkan juga untuk orang lain?!.
Saya sadar, pertanyaan itu sangat penting. Malah lebih berguna daripada jawaban yang rasional sekalipun. Pertanyaan tentang mengapa saya harus berada disini atau mengapa saya tidak berada di tempat lain saja, merupakan sebuah pertanyaan sebagai pintu masuk ke dalam suatu perjuangan; mengandung sentuhan moral sekaligus menyentuh gerak batin, yang mendorong seseorang untuk mengoreksi, menginterupsi bahkan meragukan bangunan alasan, motivasi dan perspektif tentang sesuatu, yang sudah terbentuk sejak awal, yang telah dilalui sekian jauh, perihal yang diperjuangkan.
Pertanyaan mengapa, merupakan suatu tanya yang berupaya menyoal alasan-alasan, motivasi dan juga perspektif akan sesuatu yang telah dimengerti. Alasan, motivasi dan perspektif tentang sesuatu yang sedang dijalani atau diperjuangkan, perlu sekali disadari bahwa itulah nyawa perjuangan. Kesadaran yang demikian, oleh karenya menjadi titik awal etika perjuangan.
Menghayati perjuangan melalui pertanyaan-pertanyaan, saya pikir, para pembaca sudah mengajukannya atas keberadaan dan kebagaimanaan individu masing-masing dalam melakukan perjalanan. Bahwa semua orang, termasuk pembaca adalah pejuang. Akan tetapi standar nilai suatu perjuangan setiap orang (mungkin) berbeda.
Perjuangan, menurut saya adalah suatu aktivitas yang berkesadaran. Aktivitas yang berkesadaran berarti suatu aktivitas yang disadari sebagai jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana seseorang perlu berjuang. Manusia, oleh karenanya merupakan mahluk pejuang.
Perjuangan Politik
2018 dan 2019 sebagai tahun politik yang sudah tentu (akan) diwarnai oleh riak perjuangan; Semua orang ikut terlibat, berpartisipasi, merasa bertanggung jawab; pada akhirnya semua orang ikut berjuang – terutama mereka yang melek politik.
Pada satu sisi muak dengan keadaan disekitar karena politik yang hanya hidup dalam percakapan sehari-hari; politik hanyalah frasa untuk orang-orang berduit, bahasa para penguasa dan pengusaha. Sementara disisi lain, mental sesama manusia yang sudah seperti tumpukan semak belukar, yang sekali tersulut api sekejap langsung menyalah – membakar – menghanguskan – Mental yang demikian merupakan mental ‘mentah’ yang nampak dipermukaan sebagai entitas jiwa yang kumuh dan baru akan meraba-raba mental ‘matang’, sebagai wujud jiwa yang bersih. Dua hal tersebut ‘memaksa’ orang yang sadar politik untuk berjuang.
Perjuangan politik macam apakah yang akan kita lakukan?
Politik sebagai suatu term filosofis berarti mengerti bahwa ada kekacauan; keadaan manusia yang berantakan; ‘bangunan kota’ yang remuk; pusat kota yang kumuh, lalu, dengan penuh kesadaran bangkit berjuang untuk sebuah perbaikan. Sebaik-baiknya politisi ialah politisi yang memahami hal-hal tersebut karena terus-menerus menghayatinya. Bangunan pemahaman seperti itulah yang mampu membangunkan seseorang dari kesadaran gelap menuju aktivitas yang berkesadaran.
Dalam hidup ini, semua orang telah berjuang. Bahkan berjuang berdarah-darah. Banyak hal yang diperjuangkan tentunya. Tidak hanya memperjuangkan sesuatu yang dimengerti bahwa telah mengalami pergeseran nilai, posisi dan keadaan asali. Tetapi juga berjuang mempertahankan idealisme, komitmen dan konsistensi.
Standar nilai suatu perjuangan mencakup semangat, kejujuran, loyalitas, dan etika. Suatu nilai abadi yang terus menerus menjadi sandaran moral yang selayakanya menjadi landasan untuk memulai suatu perjuangan. Daripadanya-lah segala harapan baik disematkan. Semua orang berjuang. Tetapi tidak semua orang berhasil.
Perjuangan adalah perjumpaan idealitas di satu sisi dan realitas pada sisi lain. Idealiatas adalah wajah keharusan. Sesuatu harus ada sebagaimana seharusnya. Idealitas sebagai gambaran ide-ide ideal merupakan visi jangka panjang bagi setiap orang yang sedang dan akan berjuang; Bahwa politik itu sangat berguna bagi umat manusia, harus bisa hidup dalam perilaku setiap orang. Akan tetapi pragmatisme merupakan rintangan yang berat untuk me-realitaskan yang ideal (idealitas) itu.
Realitas itu dekat dengan helaan nafas setiap individu, dekat dengan bola matanya, dekat dengan ujung kukunya. Memahami realitas berarti berkesadaran tentang keberadaan dan kebagaimanaan manusia sebagai individu, masyarakat dan lingkungannya. Kesadaran manusia dalam dimensi yang demikian menentukan keberadaan dan kebagaimanaannya.
Ada orang yang menjadi tidak mau tahu tentang keadaan orang lain karena batas kesadarannya terletak pada individu yang menyendiri; Ada orang yang mengambil peduli terhadap ketidakberuntungan orang lain karena ketidakadilan tetapi kepedulian yang berharapakan pujian, tepuk tangan dan nama besar – kesadaran yang demikian ialah kesadaran yang menuntut; Lalu ada orang yang memberi tanpa diminta, menjawab tanpa ditanya, mendengar tanpa dibisikan – Kesadaran yang demikian ialah kesadaran yang mengerti.
Mengapa manusia sebagai invidu, ketika diperhadapkan pada realitas (ketidakadilan, kemiskinan, pengkhinatan manusia atas manusia, dan lingkungan yang kumuh akibat dari degradasi politik nilai) misalanya, ada kecendrungan untuk mengulurkan tangan ‘keadilan’ sebagai topeng untuk menutupi keinginan yang sangat pragmatis?
Mengapa manusia sebagai masyarakat, sulit menjadi Manusia bagi orang-orang lain dalam bermasyarakat? Menjadi Manusia berarti menemukan wujud ideal kemanusiaan manusia. Hanya manusia yang tahu ‘apa yang harus diperbuatnya untuk orang lain sebagaimana apa yang dia kehendaki orang lain perbuat untuk dirinya’. Berjuang dalam dan dengan kesadaran yang mengerti.
Apakah perjuangan kita sejauh ini merupakan perjuangan yang berkesadaran? Bagaimana kesadaran kita memberi arti penting bagi orang-orang lain? Lalu mengapa wajah kekecewaan itu ada dimana-mana?!
Palembang, 28 April 2018.