Filsafat

Terbentuk dari Benturan

By August 23, 20196 Comments
Suatu hari di bawah langit malam Kota Kalabahi – bersama sahabat masa kecil.

Manusia adalah mahluk yang terus menjadi. Menjadi adalah proses yang tidak pernah selesai. Tidak pernah selesai karena kehidupan manusia selalu dinamis.

Dalam interaksi sosial, tidak dipungkiri hampir semua manusia menjadi penyebab orang lain menderita. Atau setidak-tidaknya dikenang sebagai orang yang buruk.

Dalam hal ini, beberapa orang bertumbuh dalam hidupnya menjadi lebih baik, artinya menjadi lebih sedikit ketidakberuntungan bagi orang lain; beberapa lainnya menjadi lebih buruk dan menjadi sumber segala malapetaka.

Anda tahu?

Semua orang pernah berbuat salah. Bahkan orang-orang yang mencintaimu. Demikian nasehat para bijak.

Lalu, bagaimana sebaiknya, menjadi sebaik-baiknya manusia? Yang dari padanya semesta (manusia dan alam raya) menyaksikan kemuliaan Tuhan?

Kitab suci, filsafat, alam raya menjadi rujukan untuk menjawabnya. Dan dalam kondisi tertentu, alam raya memiliki semua jawaban tentang pertanyaan yang berhubungan dengan perihal tersebut.

Sadar

Sadar berarti tahu. Keadaan dimana pikiran mengambil bagian atas semua yang kasat mata juga kadang, tak kasat mata; Sesuatu yang tersentuh, juga kadang jauh tak terjangkau. Sesuatu yang konkret juga kadang sesuatu yang abstrak. Yang relatif dan juga terkadang yang absolut.

Oleh karena itu, kesadaran selalu berakhir dalam konteks pemahaman yang amat luas. Dimana pemahaman itu subur adalah karena berada di dalam ruang yang tidak berdimensi: semesta! Kondisi ini sungguh berbanding terbalik dengan pikiran kerdil dalam tempurung. Luas kesadarannya adalah seluas tempurung kelapa.

Kesadaran, oleh karenanya unsur terpenting tiap manusia dalam membangun relasinya. Menyadari bahwa hidup bersama adalah penting, lebih penting lagi hidup bersesama.

Maklum

Hari ini, kira-kira pukul 17.55 terbesit di dalam pikiran untuk menulis hal ini. Apakah ini berarti pikiran saya telah mengambil bagian? hehehe

Anda masih stay dalam halaman (tulisan) ini? Gini, coba cari posisi yang enak dan rileks. Saya mau bertanya – atau setidaknya saya ingin kita sedikit berfilsafat (berpikir dan berefleksi).

Hari ini, sudah beberapa jam kita lalui. Berapa detik? Eits jangan ambil kalkulator – sebab ini tidak begitu penting. Apakah kita dalam kondisi tertentu telah memaklumi sesuatu hal?

Ayok kita mulai bertanya. Bertanyalah, “hai diriku, sudahkah engkau menjadi berkat hari ini?”

Selanjutnya, Hai diriku, sudahkah engkau berlaku adil hari ini?” Atau apakah engkau telah menjadi sumber kesusahan? Bagaimana bentuknya? Sudah seberapa sering dalam beberapa bulan terakhir ini? Mengapa terus menerus engkau mengulangi? Karena membiasakan diri untuk memaklumi.

Apa itu memaklumi? Memaklumi adalah proses manusia bersandar pada manusiawi. Selalu mengandalkan pepatah ini, “Tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang sempurna”. Kesalahan adalah wajar. Terus diulangi bahwa kesalahan adalah wajar. Begitu seterusnya dan menjadi pemakluman. Hari ini menyusahkan orang lain, besok minta maaf, selanjutnya menjadi sumber kejatuhan orang lain, lalu meminta maaf dengan pikiran tidak mengambil bagian. Segala sesuatu menjadi terus dimaklumi!

“Hai diriku, apakah engkau adalah manusia?”

“Hai diriku, apakah engkau pernah salah?” Tidak apa-apa! Bukan manusia namanya kalau tidak pernah salah.

Manusia butuh kesalahan, Sesudah terbentur dalam kesalahan; demikianlah manusia menjadi benar. Namun kepenuhan manusia bukan terletak pada kebenaran itu sendiri, melainkan proses manusia menemukannya – itulah pikiran mengambil bagian.

Berhenti memaklumi keterbatasan sebagai manusia. Sadarlah!

Bung Jhon

Author Bung Jhon

Saya adalah yang paling tahu siapa saya bahwa saya banyak tidak tahu.Sepanjang hidup, saya senang berfikir dan berefleksi di samping membaca. Anda tahu? saya menulis kemarin, minggu lalu, sebulan yang lalu dan setahun yang lalu; Saya baca hari ini: kini, saat ini, sekarang dan saya malu sekali. Saya malu karena tulisan saya datar, dan dangkal sekali maknanya.Saya tersadar: Bahwa menulis adalah seni mengungkapkan kebodohan.

More posts by Bung Jhon

Join the discussion 6 Comments

Leave a Reply